REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Ali Masykur Musa dianugerahi gelar sebagai Tokoh Pluralisme 2013 dari Lembaga Pemilih Indonesia di Jakarta, Senin.
Cak Ali, panggilan akrabnya, mengaku gelar tersebut sama sekali tidak membuat dirinya sebanding dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang semasa hidupnya sangat dikenal sebagai tokoh pluralisme.
"Saya belum apa-apa dibandingkan dengan Gus Dur," kata Cak Ali yang juga anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ia menambahkan bahwa bangsa Indonesia harus mengingat-ingat pesan Gus Dur bahwa bila melakukan kebaikan-kebaikan dengan ikhlas atas nama kemanusiaan maka orang tidak akan bertanya apa agama kita.
"Semangat pluralisme dan humanisme yang tercermin dari tuturan Gus Dur inilah yang mesti menjadi sikap dan perilaku kita," katanya.
Cak Ali mengaku sebenarnya merasa belum pantas menerima penghargaan dari lembaga yang digawangi Boni Hargens tersebut.
"Saya belum pantas sebetulnya menjadi salah satu tokoh pluralisme karena buat saya, saya belum ada apa-apanya, sepertitik kukunya Gus Dur untuk bicara kemanusiaan, dan penerima penghargaan lainnya, Megawati, Jokowi, Prabowo, Surya Paloh, Hary Tanoe. Saya hanyalah salah seorang anak bangsa yang terus berusaha memperjuangkan kemajemukan sebisa saya," katanya.
Ia mengapresiasi usaha Lembaga Pemilih Indonesia yang menyelenggarakan acara tersebut sebagai upaya mendorong para tokoh-tokoh bangsa untuk lebih peduli dengan nilai-nilai pluralisme di Indonesia.
Salah seorang peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat itu menegaskan tidak ada negara Indonesia tanpa pluralistik agama, etnik, suku, dan kultur.
"Karena pluralistik itulah Indonesia menjadi negara besar," katanya.