REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Laporan adanya gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat. Menurut Fungsional Direktorat Gratifikasi KPK, Asep Rachmat Suwanda, jumlah laporan yang masuk ke KPK pada 2013 mencapai 1.400 laporan.
"Itu belum termasuk pelaporan yang tak diteruskan ke KPK tapi cukup dikelola atau diproses oleh instansi masing-masing," ujar Asep kepada wartawan usai Menggelar Pertemuan dengan Gubernur Jabar, Jumat (17/1).
Menurut Asep, kalau berdasarkan undang-undang, gratifikasi adalah pemberian. Namun, gratifikasi yang dipidanakan adalah gratifikasi yang dianggap suap. Yakni, apabila berkaitan dengan jabatan dan tugas kewajiban seseorang. Ini, bisa dilihat secara sederhana.
"Kita bisa melihat kalau saya dalam jbatan, dapat hadiah atau tidak. Kalau ya, berarti saya ada hubungan dengan jabatan itu," katanya.
Kondisi seperti itu, kata dia, nanti bisa diaplikasikan dalam pelayanan publik. Kalau ada orang yang memberikan tips atau terima kasih, itu bisa dianggap gratifikasi suap.
Sebab, kalau yang bersangkutan itu bukan PNS atau tak menjadi pegawai disitu tak mungkin orang akan memberikan sesuatu. ''Itu ilustrasi sederhana, gratifikasi mana suap dan bukan,'' katanya.
Gratifikasi seks, kata dia, sedang dikaji, bagaimana formulasinya. Di undang-undang, fasilitas apa pun jasa apa pun yang diterima termasuk jasa seks wajib dilaporkan.
"Tapi belum ada yang dilaporkan ke kami. Yang ada, dalam penegakan hukumnya di pengadilan diungkap. Misalnya, tersangka diduga menerima gratifikasi seks dalam Kasus Bansos Bandung," katanya.