REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Seorang aktivis propemerintah Thailand, Kwanchai Praipana, terluka akibat tembakan yang diarahkan di luar rumahnya pada Rabu (22/1). Penembakan seorang aktivis kubu pemerintahan ini terjadi setelah pemerintah memberlakukan status darurat di negaranya.
“Dari cara penyerangan yang dilakukan, mereka tidak ingin ia hidup,” kata istri Kwanchai Praipana, Arporn Sarakham, seperti dikutip dari Reuters. Pihak kepolisian sendiri menyatakan adanya motif politik dibalik penembakan yang terjadi.
Dilansir dari BBC, Kolonel Kepolisian Kowit Tharoenwattanasuk, mengatakan para pelaku melakukan penembakan dari sebuah mobil bak terbuka. Ia ditembak ketika sedang berdiri di depan rumahnya. Kepolisian juga menemukan 39 peluru di rumah Kwanchai. Kwanchai sendiri telah memimpin ribuan pendukung pro-pemerintah di provinsi Udon Thani.
Kwanchai Praipana, pemimpin “kaos merah”, telah memperingatkan akan adanya pertempuran nasional jika militer melakukan kudeta. “Saya yakinkan, atas nama 20 provinsi di timur laut, kami akan melawan negara jika tentara keluar,” katanya.
Sementara itu, menurut Paul Chambers, direktur Riset di Institue of South East Asian Affairs di Chiang Mai, mengatakan surat keputusan keadaan darurat itu dikeluarkan untuk memberikan perlindungan bagi Yingluck jika terjadi kekerasan.
Saat ini, Bangkok telah terlihat normal dan orang-orang telah kembali melakukan urusannya masing-masing seperti biasanya. Aparat kepolisian juga terlihat tidak mencoba untuk membubarkan para demonstran.
Status darurat yang diberlakukan di Thailand digunakan untuk mencegah meningkatnya kekerasan. Dengan status keadaan darurat ini aparat keamanan memiliki kewenangan untuk memberlakukan jam malam, menahan para tersangka tanpa tuduhan, menyensor media, serta melarang pertemuan politik lebih dari lima orang.