Kamis 30 Jan 2014 10:38 WIB

Lebih Banyak Perempuan yang Mengajukan Gugat Cerai

Rep: eko widianto/ Red: Damanhuri Zuhri
Cerai (ilustrasi)
Foto: www.mediaislamnet.com
Cerai (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PURBALINGGA -- Kasus perceraian yang sampai ke pengadilan agama, lebih banyak diajukan oleh kaum perempuan. Seperti data yang terdapat di Pengadilan Agama Kabupaten Purbalingga.

Dari 2.308 kasus perceraian yang berlangsung sepanjang tahun 2013, sebanyak 73 persen merupakan perceraian yang diajukan oleh kaum perempuan.

''Sepanjang 2013, kasus gugat cerai yang diajukan kaum perempuan mencapai 1.686 kasus atau 73 persen dari seluruh kasus cerai.

Sedangkan yang talak cerai yang diajukan kaum laki-laki hanya 622 kasus,'' kata Panitera Muda Pengadilan Agama Purbalingga, Rosiful, Rabu (29/1).

Mengenai alasan yang diajukan perempuan mengajukan gugat cerai, kebanyakan mengajukan alasan karena suami tak bertanggung-jawab.

Namun dia menyangsikan kebenaran alasan itu, karena bisa jadi ada alasan lain selain yang sebenarnya melatar-belakangi pengajuan gugat cerai tersebut. ''Misalnya, karena alasan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga),'' katanya.

Dia mengungkapkan, berdasarkan data latar belakang gugat cerai yang diajukan kaum perempuan, sangat sedikit yang menyatakan alasan mengajukan gugat cerai karena kasus KDRT yang dilakukan suami.

Mereka lebih suka menggunakan alasan lain, karena kalau mencantumkan alasan KDRT maka persidangannya menjadi panjang dan berbelit-belit.

''Kalau menggunakan KDRT, akan banyak persyaratan yang harus dipenuhi korban untuk bisa membawa kasus KDRT ke pangadilan, baik pengadilan agama maupun pengadilan negeri,'' jelasnya.

Suwanti (30), seorang perempuan yang baru menerima putusan gugat cerai dari Pengadilan Agama Purbalingga Kamis pekan lalu, mengakui gugat cerai yang diajukannya menggunakan alasan karena suami tidak bertanggung jawab.

''Sebenarnya, selain tidak bertanggung jawab, suami saya juga sering main kasar. Saya sering dipukul, ditendang malah pernah dicekik,'' ungkapnya.

Dia terpaksa menutupi perilaku kasar mantan suaminya di pengadilan, sesuai arahan Lebe atau Kaur Kesra di Pemerintahan Desa.

''Pak Lebe yang sudah pengalaman bertahun-tahun mendampingi warganya dalam urusan perceraian, kalau menggunakan alasan KDRT, proses sidang akan menjadi panjang atau berkali-kali karena harus bisa menunjukkan bukti visum dan saksi,'' jelasnya.

Sementara itu, Sekretaris Tim Hapus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Tim Harapan) Kabupaten  Purbalingga, Pandansari, mengatakan kasus KDRT yang terdata di Pengadilan Agama memang belum bisa menggambarkan kondisi riil di lapangan.

''Kita sendiri hanya ada 183 kasus KDRT sepanjang tahun 2007 hingga 2013. Tapi saya yakin, kasus yang tidak dilaporkan pasti lebih banyak,'' tegasnya.

Menurut Pandansari, kebanyakan perempuan korban KDRT tidak berani melaporkan kasusnya karena menganggap apa yang terjadi padanya sebagai sebuah aib.

Namun, pihaknya melihat semakin tahun semakin besar kesadaran para permepuan untuk melaporkan KDRT yang dialaminya.

Meski demikian Pandansari mengatakan, kehadiran Tim Harapan tidak harus mengantarkan kasus KDRT ke meja pengadilan. Tim Harapan lebih brfungsi sebagai mediator agar kedua belah pihak menemukan jalan terbaik bagi rumah tangganya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement