Senin 17 Feb 2014 16:46 WIB

Wuih, 10 Persen Caleg Rawan Gangguan Jiwa

Rep: Andi Nurroni/ Red: Damanhuri Zuhri
Sejumlah calon legislatif sedang meneliti daftar caleg di KPU
Foto: Antara
Sejumlah calon legislatif sedang meneliti daftar caleg di KPU

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR—Dalam beberapa periode pemilihan umum terakhir, selalu saja ada cerita unik tentang calon anggota legeslatif (caleg) yang terserang gangguan jiwa karena gagal terpilih.

Hal itu kiranya yang mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah-daerah untuk mengecek kesehatan jiwa para kontestan sebelum melepas mereka bertanding.

Untuk wilayah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Depok, tes kesehatan jiwa dilangsungkan bekerjasama dengan RS Marzoeki Mahdi (RSMM), Kota Bogor.

Dari hasil pemeriksaan terhadap 3000-an caleg di tiga kota/kabupaten tersebut, diketahui 5-10 persen dalam status rawan gangguan jiwa.

Kepala Humas RSMM dr. Abdul Farid menjelaskan, tes dilakukan dengan metode Minnesota Multiphasic Personality Inventory  atau MMPI.

Menurut dia, MMPI merupakan tes komprehensif untuk mengukur kepribadian, terutama gangguan-gangguan psikologis yang ada di dalam diri seseorang.

“Ada lima tingkatan hasil, yakni sangat baik, baik, sedang, buruk, dan sangat buruk,” ungkap Farid kepada Republika, Senin (17/2).

Ketua KPU Kota Bogor Undang Suryatna menjelaskan, tes kesehatan jiwa merupakan salah satu syarat pendaftaran caleg yang ingin mengikuti pemilu, sebagaimana diatur perundangan yang berlaku.

Undang mengamini para caleg sangat rawan terkena gangguan kejiwaan. “Di Kota Bogor, ada 511 calon yang mendaftar, sementara yang akan terpilih hanya 45. Nah, sisanya, kan, pasti tidak terpilih,” ujar Undang.

Pengamat politik Lingkaran Survei Indonedia (LSI) Toto Abdul Fatah menggambarkan, ada tiga tipikal caleg yang berkembang dalam pemilihan umum di Indonesia.

Pertama, menurut Toto, adalah mereka yang punya uang, kedua, mereka yang tidak punya uang tapi punya idelisme, dan ketiga, mereka yang tidak punya uang dan tidak punya idealisme.

Lebih jauh Toto menerangkan, caleg tipe satu biasanya relatif stabil meskipun kalah. Tapi umumnya mereka menang, karena banyak uang.

Mereka yang tergolong tipe dua, menurut Toto, kebanyakan akademisi, pengamat, atau pegiat LSM, yang juga relatif lebih stabil secara kejiwaan ketika kalah.

“Nah, tipe ketiga, ini yang potensi stressnya sangat tinggi, dan ujung-ujungnya banyak yang dibawa ke rumah sakit,” kata Toto dengan nada bergurau.

Toto menyesalkan kuatnya politik uang dalam sistem demokrasi di Indonesia. Namun, Toto mengganggap rakyat Indonesia tengah berproses.

“Amerika (Serikat) saja butuh seratus tahun untuk bisa mencapai tatanan demokrasi seperti sekarang, kita baru memulai pemilihan umum tahun 2004,” ujar Toto.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement