Senin 24 Feb 2014 01:16 WIB

Implementasi Jamiyyah Ilahiyyah: Mengubah Gunung Menjadi Kapas (1)

Ilustrasi
Foto: Vi.sualize.us.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Dengan tatapan mata yang kosong, si Ahmad memandang gunung cadas di hadapannya. Ia betul-betul merasakan puncak penderitaan.

Jika ada pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga lagi”, perasaan Ahmad lebih berat dari itu, bahkan ia merasakan bagaikan ditindih oleh gunung cadas itu. Terbayang dalam benak Ahmad untuk melakukan bunuh diri, tetapi pengetahuan yang pernah ia kecap di pondok pesantren mencegahnya untuk melakukan perbuatan konyol itu.

Tiba-tiba saja si Ahmad mengingat guru ilmu hadis di pondoknya pernah menerangkan kisah Ibn Hajar al-Asqalani, ulama besar dan penulis produktif yang menulis syarah kitab Shahih Bukhari.

Kisahnya, Ibn Hajar bertahun-tahun belajar di Kairo, tetapi pengetahuannya tidak pernah berkembang. Ia memilih untuk pulang kampung membantu orang tuanya.

Sambil istirahat dan di dalam gua menghindari terik matahari padang pasir di siang bolong, matanya tertuju pada tetesan air di dalam gua yang berhasil membuat lubang di dalam batu cadas.

Ia menarik kesimpulan bahwa air yang selembut itu saja bisa mengubah batu cadas karena tetesannya yang nonsetop, mengapa dia tidak bisa dan harus gagal. Dengan penuh semangat ia balik kanan menuju ke Kairo mengurungkan niatnya untuk pulang kampung.

Akhirnya, Ibnu Hajar di kemudian hari menjadi penulis produktif. Jika seluruh umurnya dikalikan dengan jumlah halaman karya tulisannya, ia menulis tidak kurang 10 halaman setiap hari. Bisa dibayangkan ketika itu masih manual, belum ada komputer.

Ahmad lalu bangkit dari duduknya dan membanting ranting kering di tangannya sambil berteriak, “Aku juga bisa, dan aku harus bisa!” Entakan semangat Ahmad seolah mengubah gunung yang tadinya menindih dirinya menjadi hanya lembaran-lembaran kapas atau menurut istilah Alquran, “Wa takunul jibal kal ihnil manfusy (dan gunung-gunung laksana bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS al-Qari’ah [101]: 5).

Apa yang dialami Ahmad mengingatkan kita kepada teladan kita Nabi Muhammad SAW. Semula Rasul terpukul dengan wafatnya istri sekaligus pelindungnya, Khadijah, yang tahun itu terkenal dengan tahun kesengsaraan (Am al-Khazn).

Begitu Nabi diperjalankan ke puncak Sidratil Muntaha yang lebih dikenal dengan Isra Mi’raj, Nabi langsung bersemangat keesokan harinya. Nabi pun memutuskan untuk segera hijrah ke Yatsrib (Madinah).

Ahmad sadar betul bahwa kekecewaan yang dialaminya belum seperti, bahkan tidak ada apa-apanya dibanding dengan pengalaman Nabi.

Selain mengingat ayat dan pengalaman hidup Nabi dan Ibn Hajar, Ahmad juga mengingat apa yang pernah disampaikan seorang bijak, “Bagimu tidak ada kelahiran dan kematian, bagimu tidak ada pikiran, bagimu tidak ada rintangan atau kebebasan, tidak ada baik atau buruk. Mengapa engkau masih menangis, anakku? Tidak juga kamu atau aku yang punya nama atau bentuk.”

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement