Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Ahmad tiba-tiba menjadi seorang yang arif. Ia sadar betul bahwa sepanjang manusia menjadikan materi sebagai tolok ukur, sepanjang manusia dikuasai oleh pikiran melulu, sepanjang manusia memaknai hidupnya dari sudut lahiriah semata, maka sepanjang itu akan menangis meratapi badai kehidupan yang tidak pernah berlalu.
Ahmad tersentak, mengapa harus bersedih menempuh perjalanan hidup ini? Bukankah kita sudah tercipta oleh takdir? Bukankah kita sudah mempunyai garis tangannya masing- masing? Bukankah kita tinggal menjalani blue print yang ada di Lauh Mahfudz?
Akhirnya, bukanlah diri ini hanya bagaikan sampah yang terbawa air sungai, kemana pun air sungai bermuara, ke situ sampah itu pasrah. Ketika seorang mampu menyadari dirinya sebagai sebuah samudra, sekotor apa pun sungai yang bermuara kepadanya tidak akan pernah mengubah birunya samudra.
Ada orang bijak mengatakan, ketika seseorang mampu menyadari dirinya adalah samudra keabadian, sederas apa pun sungai penderitaan tidak akan pernah memengaruhinya.
Energi pikiran kadang-kadang lebih kuat daripada nafsu. Energi pikiran akan selalu memupuk rasa keakuan. Rasa keakuan inilah yang selalu membawa penderitaan. Semakin kuat rasa keakuan, semakin pekat pula kegelapan yang melingkupinya.
Orang yang selalu memupuk rasa keakuannya pada hakikatnya ia menggali kuburannya sendiri. Rasa keakuan lebih kejam dari penjahat. Penjahat hanya bisa membunuh orang sekali, tetapi rasa keakuan bisa membunuh seseorang berkali-kali.
Rasa senang atau sedih, bahagia atau kecewa, pintar atau tidak pintar, miskin atau kaya, berat atau ringan hanyalah produk dan efek dari pikiran. Begitu kita tidur atau pingsan, semuanya sama. Akan tetapi, begitu sadar dan siuman kembali, maka perlahan-lahan perasaan kontradiktif itu muncul kembali. Agama lahir untuk mengendalikan nafsu dan pikiran.
Agama hadir untuk membuat hidup manusia konstan, tidak fl uktuatis dengan kontradiksi kehidupan dunia. Akan tetapi, agama dan suasana keagamaan juga sering mengecoh banyak orang. Banyak orang yang menyangka bahwa puncak kebenaran itu ketika diri kita terbawa oleh suasana keagamaan atau spiritual.
Padahal, tidak sedikit orang salah sangka, yang dianggap suasana batin-spiritual ternyata tidak lain adalah ego spiritual juga. Termasuk ego spiritual ialah menikmati pujian orang-orang yang mengaguminya lantaran banyaknya ibadah yang dilakukan.
Mungkin ia melaksanakan puasa Senin-Kamis, shalat-shalat rawatib, zikir jalan terus, lalu dengan gampang memandang rendah orang lain yang tidak seperti dengannya. Amal-amal kebajikannya lebih banyak digunakan untuk mengaktualisasikan diri sehingga orang takjub dan menikmati pujian-pujian mereka.
Padahal, dia juga tidak kalah jelek dengan orang yang dicelanya. Hanya karena keterampilannya mengemas topeng-topeng kepalsuan, ia tidak dipermalukan orang lain. Ego spiritual semacam penyakit akhlak yang amat halus. Begitu halusnya sehingga seakan-akan orang tidak sadar kalau dirinya sedang tersandung dalam ego spiritual.
Kini, Ahmad menjadi Ahmad yang sebenarnya, ia menjadi motivator terkemuka. Ia sering menjadikan dirinya sebagai contoh kasus bahwa dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Ia juga selalu mengutip hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah SWT selalu berada di dalam apa yang menjadi keyakinan hamba-Nya.”
Di sinilah perlunya pikiran positif (husnuzhan). Ahmad membuktikan bahwa ternyata beban yang seperti gunung bisa berubah seperti kapas yang sama sekali tidak membebani.