Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Ahmad terus merenung tentang hakikat entitas ular dan tali. Mengapa dia takut terhadap ular dan tidak takut pada tali, padahal kedua-duanya memiliki bentuk yang dapat diasosiasikan, yaitu berbentuk panjang dan elastis?
Bukankah ular dan tali keduanya bersumber dari Yang Mahasatu? Lalu, mengapa dia harus takut kepada ular dan berani pada tali? Bukankah diriku juga berasal dari sumber yang sama? Kalau semuanya berasal dari Yang Mahasatu, mengapa memiliki nilai persepsi yang sama? Siapa dan apa yang membedakan persepsi itu muncul? Ahmad akhirnya sadar bahwa yang menentukan persepsi itu tidak lain adalah pikiran.
Pikiran inilah yang menentukan adanya persepsi yang berhadap-hadapan. Pikiran juga yang menentukan ukuran jauh atau dekat, panjang atau pendek, cantik atau tampan atau tidak cantik dan tidak tampan, nilai emas atau nilai baru, kaya atau miskin, musibah atau rahmat, bahagia atau sedih, dan baik atau buruk.
Semakin aktif pikiran itu, semakin norak perbedaan itu terjadi. Semakin pasif pikiran itu, semakin dekat nilai perbedaan itu. Bahkan kalau pikiran itu sama sekali pasif, seperti dalam keadaan kita senang tidur atau pingsan, perbedaan itu sama sekali hilang.
Orang yang sedang tidur tidak sadar kalau dirinya itu kaya atau miskin, cantik atau tidak, bahagia atau tidak, pintar atau bodoh. Semua orang tidur sama dengan orang mati, tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya. Akan tetapi, jika orang kembali sadar dari tidurnya, perlahan-lahan pikirannya kembali aktif, maka kutub yang berbeda-beda itu pun muncul lagi.
Cukup lama si Ahmad termenung, akhirnya ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa tentu tidak semua pikiran itu jelek. Bahkan, pikiran itu “barang netral”, yang memberikan nilai baik dan positif terhadap sebuah pikiran adalah unsur luar dari dirinya, seperti nafsu, ego, dan lingkungan pacu si pengguna pikiran itu.
Sehubungan dengan si Ahmad mengingat apa yang dinyatakan di dalam //Bhagavad-Gita, II, 55: “Wahai Arjuna (manusia, pen.), ketika seseorang pikirannya secara sempurna telah lepas dari segala nafsu, dan selalu terpuaskan sepenuhnya dalam diri oleh Sang Diri, dialah yang dinyatakan sebagai orang yang dinyatakan sebagai orang yang memiliki kecerdasan mantap.”
Ahmad juga mengingat sejumlah sufi papan atas yang mampu mencapai maqam puncak, yang dicirikan pada penyederhanaan penggunaan pikiran dan mengutamakan kepasrahan dan kedekatan diri kepada Ilahi. Merekalah representasi dan sekaligus simbol al-jam'iyyah al-ilahiyyah.
Si Ahmad juga mengingat Nabi Sulaiman, Nabi Musa, dan Rabiah al-Adawiyah yang bercanda dengan binatang-binatang dan burung-burung liar, Nabi Musa dan Nabi Yunus bersahabat dengan laut, Nabi Ibrahim bersahabat dengan api, Nabi Sulaiman bersahabat dengan jin dan malaikat.
Si Ahmad akhirnya sadar dan mampu menjawab siapa sesungguhnya aku, dia, dan engkau. Ternyata engkau tidak lain adalah aku dan aku adalah engkau. Dia dan mereka semua ternyata adalah aku juga. Ternyata semuanya adalah aku. Lantas siapa sebenarnya aku, dan ternyata aku tidak lain adalah Aku Yang Maha Aku.
Dalam suasana termenung, tiba-tiba si Ahmad dikagetkan oleh seekor ular sungguhan yang melilit kakinya. Si Ahmad dengan penuh kasih sayang dan persahabatan menggenggam ular kobra itu dan dibiarkan melilit tangannya. Si Ahmad mengatakan, subhanallah, ternyata engkau adalah seutas tali.