Kamis 27 Feb 2014 15:11 WIB

12 Perusahaan Tambang di Kalteng Berhenti Beroperasi, Kenapa?

 Pekerja tambang beraktivitas di area pengeboran minyak dan gas.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pekerja tambang beraktivitas di area pengeboran minyak dan gas. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PALANGKA RAYA -- Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Tengah mencatat sebanyak 12 perusahaan tambang berhenti beroperasi sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 4 tahun 2009.

Menurut Kepala Distamben Kalteng R Syahril Tarigan perusahaan pertambangan yang berhenti beroperasi itu terdiri dari satu tambang bauksit dan 11 bijih besi.

"Tambang bauksit yang berhenti beroperasi di Kabupaten Kotawaringin Timur, sedangkan bijih besi di Kotawaringin Timur, lima di Lamandau, satu di Seruyan, dan satu lagi di Sukamara," kata Syahril.

UU no4/2009 tentang mineral dan batubara melarang ekspor ena, mineral dalam bentuk mentah, yakni emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga dan batubara per 1 januari 2014 mulai memberi dampak pada kegiatan pertambangan di Kalteng.

Syahril mengatakan berhentinya 12 perusahaan pertambangan tersebut membawa kerugian yang cukup signifikan, terutama dari Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBHSDA) dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

"Sejak belum ada bahkan sudah ditetapkan tapi belum diberlakukan, perusahaan pertambangan di Kalteng juga sudah melakukan kegiatan di luar kebiasaan. Jadinya, kerugian DBHSDA dan PNBP semakin sulit sejak ada UU Minerba," kata Syaril.

Dikatakan bahwa perusahaan pertambangan melakukan kegiatan eksploitasi dan ekspor lebih giat daripada biasanya sebelum UU Minerba diberlakukan, terutama pada tahun 2013, karena menyadari harus berhenti beroperasi bila tidak melakukan pengolahan.

Distamben Kalteng pun sekarang ini sedang berupaya menghitung besaran kerugian yang dialami provinsi setempat, hanya membutuhkan waktu untuk memilah data DBHSDA dan PNPB Pertambangan Kalteng.

"Data DBHSDA dan PNPB Pertambangan Kalteng yang diajukan ke pemerintah pusat kan merupakan data gabungan dan tidak menunjukkan untuk Bauksit serta Bijih Besi. Data kerugian ini yang sedang kami perhitungkan," kata Syahril.

Ia mengatakan bahwa kerugian juga dialami provinsi ini akibat hilangnya lapangan kerja ribuan karyawan dari 12 perusahaan tersebut, sehingga untuk mengatasinya sedang menjaring investor untuk membangun smelter di wilayah setempat.

"Saat ini sudah ada investor yang berencana untuk membangun smelter pengolahan bijih besi di Sampit. Saat ini sedang dalam tahap studi Amdal. Mudah-mudahan hal ini bisa segera direalisasikan," demikian Syharil.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement