REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam itu toleran, Islam itu jauh dari kekerasan, Islam itu terbuka, Islam itu besar, Islam itu maju, Islam itu modern, dan Islam itu damai.
Pesan-pesan tersebut coba diangkat oleh penulis skenario Alim Sudio dan coba diterjemahkan ke layar perak oleh sutradara Guntur Soeharjanto melalui film 99 Cahaya di Langit Eropa Part II.
Dengan iming-iming lokasi syuting di Cordoba, Spanyol, dan Istanbul, Turki, film yang di adaptasi dari novel berjudul sama karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ini tentu diharapkan menjadi kekuatan untuk menarik lebih banyak penonton.
Sayangnya bagi pecinta jalan-jalan dan sejarah Islam tidak bisa berharap lebih untuk dapat menyaksikan lebih banyak gambaran sisa-sisa kebesaran dan kemegahan Islam di Cordoba, mengingat porsi terbesar hanya diperlihatkan ketika Hanum yang diperankan Acha Septriasa dan Rangga yang diperankan Abimana Aryasatya berada di dalam Kathedral Mezquita --sebelumnya merupakan Masjid Cordoba.
Bahkan gambar secara utuh kemegahan bangunan yang berdiri di kaki bukit Siera de Montena, dan menjadi pusat keislaman di Andalusia selama tiga abad tidak terlihat. Penonton akan terhibur dari cuplikan-cuplikan detail keindahan bagian dalam arsitektur bangunan yang menyerupai Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Agung Damaskus di Suriah.
Sebutan Cordoba sebagai The City of Light yang menjadi cahaya, inspirasi, pencerahan dari kemajuan pemikiran Islam terhadap ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan kesenian pada masa itu bagi kemajuan bangsa Eropa hingga saat ini tidak terwakili.
Gambaran tentang kota cahaya ini hanya terwakilkan dari adegan Hanum dan Rangga yang sedang menikmati kota yang hingga larut malam masih terang benderang dan penuh dengan aktivitas dengan menonton pertunjukan musik di satu sudut Cordoba.
Porsi visual peninggalan Islam di Istanbul, Turki, lebih besar ketimbang di Cordoba, Spanyol. Gambar secara utuh bagian luar Hagia Sofia dan Masjid Biru atau yang lebih dikenal Blue Mosque ditampilkan sekilas.
Cuplikan dari dua tempat ini yang kemudian dijadikan kekuatan untuk menyampaikan bahwa Islam adalah agama yang penuh toleransi. Bagaimana simbol-simbol Islam dihilangkan di Kathedral Mezquita namun justru simbol-simbol nasrani tetap dipertahankan di Hagia Sofia.
Kekuatan dari film produksi Maxima Pictures yang hendak menunjukkan kebaikan-kebaikan Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin ini justru banyak tersampaikan dalam adegan-adegan Khan dan Stefan yang dilakoni oleh Alex Abad dan Nino Fernandez.
Perdebatan-perdebatan dalam keseharian sahabat Rangga yang sama-sama sedang menyelesaikan pendidikan doktoral mereka di Vienna of University di Wina, Austria ini menjadi menarik karena menjelaskan secara sederhana dan ringan ajaran-ajaran Islam yang selama ini justru sering kali menjadi perdebatan di dunia.
Pesan kuat bahwa Islam sebenarnya jauh dari kekerasan telah tersampaikan sejak awal film yang diproduseri Ody M Hidayat ini dimulai. Khan kecil yang berdialog dengan sang ayah yang merupakan seorang guru di Pakistan tentang jihad memperlihatkan bagaimana Islam mengajarkan cinta damai.
Jihad sesungguhnya bukan berarti mengangkat senjata atau bom bunuh diri. Ayah Khan yang kemudian justru diceritakan meninggal menjadi korban aksi pengeboman di Pakistan meyakinkan Khan untuk berjihad melalui cara damai dengan pendidikan, dengan intelektual.
Ayah Khan tidak memberikan pedang untuk berjihad, tetapi justru memberikan pena sebagai bekal Khan untuk berjihad.
Pada adegan lain, penjelasan Rangga kepada Stefan yang memegang paham sekuler tentang siapa pun termasuk setan yang tercipta dari api akan merasakan sakitnya azab api neraka dijelaskan secara sederhana oleh suami dari Hanum ini.
Saat Stefan berteriak kesakitan setelah tangannya dipukul untuk ketiga kali saat itu lah analogi dari setan yang diciptakan dari api tetap akan kesakitan saat terbakar dalam neraka tersampaikan.
Analogi lain juga digunakan Rangga untuk menjelaskan poligami dalam Islam kepada Stefan. Tidak mudah menyelesaikan dua bidang studi sekaligus dalam waktu bersamaan, begitu pula ketika harus menghadapi dua orang istri dalam waktu bersamaan secara adil.
Masih ada beberapa pesan lain tentang Islam yang menjadi kekuatan film yang banyak mengambil setting Kota Wina tersebut. Tentang berwudhu, tentang berhijab, tentang halal dan haram produk yang dikonsumsi, tentang janji yang harus ditepati, dan tentang bagaimana menjadi agen muslim yang bagik sebagai pihak minoritas khususnya di Eropa.
Dan tentu saja pesan penting bagi mereka yang menimba ilmu di negera-negara maju bahwa mereka pergi untuk kembali ke negara masing-masing, untuk membangun negeri. Bukan saja Rangga yang memegang teguh prinsip tersebut, tetapi juga Khan yang harus berjihad memajukan Pakistan dengan ilmu yang diperoleh setelah mengambil gelar PhD di Wina.
Pemandangan Kota Wina dengan bangunan-bangunan indah khas Eropa dan Pegunungan Alpen masih memanjakan penonton seperti di film sebelumnya. Kehidupan kampus yang menjadi latar belakang cerita penuntasan pendidikan doktoral juga mendominasi.
Cuplikan-cuplikan gambar Masjid Nabawi dan aktivitas tawaf di Ka'bah yang mewakili cerita Rangga dan Hanum berkunjung ke Tanah Suci menjadi pelengkap yang semakin membuat petualang-petualang muslim ingin bergegas memilai perjalanannya.
Secara garis besar film baru akan tayang perdana di layar lebar pada 6 Maret 2014 ini memberikan pesan-pesan baik tentang Islam di tengah pandangan-pandangan miring sejumlah pihak di dunia barat.
Sang sutradara film berharap dalam film yang diperankan Acha Septriasa, Abimana Aryasatya, Raline Shah, Nino Fernandez, Alex Abbad, Marissa Nasution, dan aktris cilik Gecchae ini mendapat sambutan yang lebih besar dari film 99 Cahaya di Langit Eropa Part I yang berhasil mendatangkan lebih dari 1,250 juta penonton.
Dan bagi penonton yang memang penasaran dengan akhir cerita dari film yang menceritakan petualangan rohani Hanum dan Rangga di Benua Biru rasanya tidak berlebihan jika menyelipkan beberapa lembar tisu di kantong saat hendak menonton film ini. (Virna Puspa Setyorini)