REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 268 Ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP perihal batasan peninjauan kembali hanya satu kali. Ketua tim perumus KUHAP, Andi Hamzah pun memberikan ulasan singkat terkait putusan tersebut.
Peninjuan kembali yang tercantum dalam KUHAP, kata dia, merupakan ide mantan ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji pada 1981. Gagasan tersebut muncul dilatarbelakangi peristiwa Sengkong dan Karta, terpidana dugaan kasus pembunuhan dan perampokan.
Keduanya divonis hukuman penjara Sengkong 12 tahun dan Karta 7 tahun. Ketika berada dalam penjara, baru ditemukan petunjuk siapa pelaku sebenarnya. Keadaan baru tersebut menjadi bukti, kedua terpidana itu tidak bersalah.
Menurutnya, ketentuan peninjauan kembali (PK) dalam KUHAP merupakan tiruan dari Strafvordering (Sv) Nederland (KUHAP versi Belanda). Bahkan, bisa dikatakan 95 persen sama dengan ketentuan aturan hukum tersebut. Bedanya, PK di Indonesia diputus MA.
Sedangkan, Sv Nederland, MA hanya menentukan PK diterima karena ada novum atau putusan saling bertentangan. Apa bentuk putusannya, dikembalikan ke pengadilan di bawah untuk retrial. Ada pemeriksaan kembali saksi dan terpidana, termaksud judex facti.
Dia membandingkan, di Belanda, PK baru diajukan dalam kurun waktu 10 tahun, karena ada 9 hakim, 3 Pengadilan Negeri, 3 Pengadilan Tinggi dan 3 Hakim Agung, yang tida mudah dibuktikan keliru. Lain halnya Indonesia, setiap putusan kasasi baik perdata maupun pidana dimintakan PK.
"Bahkan satu hari setelah ada putusan kasasi, dimana tidak mungkin ada novum dalam kurun waktu tersebut. Anehnya MA menerima pengajuan itu," kata Andi kepada Republika, Selasa (11/3).
Dia kembali menjelaskan, putusan PK limitatif alternatif. Hanya menghasilkan empat putusan yaitu bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan jaksa tidak dapat diterima dan pidana lebih ringan. Pihak yang berhak mengajukan PK adalah keluarga, terpidana atau kuasa hukumnya.
Dalam RUU KUHAP ini, dia menambahkan usulan, jaksa agung bisa mengajukan PK kalau tidak ada ahli waris, atau terpidana meninggal dunia. Namun, fungsinya, bukan untuk menghukum, tapi membebaskan pihak yang bersalah. Konsep seperti itu sama yang diterapkan di Sv Nederland.
Agar PK di Indonesia tidak dimainkan seperti sekarang, dalam RUU KUHAP, pihaknya mencantumkan aturan dimana, diterimanya novum atau putusan saling bertentangan harus dihadiri seluruh hakim agung yang dipimpin ketua MA. Putusan akhir berupa retrial pengadilan di bawahnya.
Andaikata RUU KUHAP ini sudah berlaku, menurut dia, kasus Antasari tidak akan terjadi. Sebab putusan akhir PK harus berupa retrial, pemeriksaan ulang saksi-saksi dan Antarasari. Berbeda dengan putusan sebelumnya, yang hanya berdasarkan berkas semata.
"Berkas putusan PN itu pun berdasarkan BAP, yang saksi utama, yaitu si eksekutor justru tidak dihadirkan di sidang," ujar ketua tim perumus KUHAP tersebut.
Kalau saja, MK menafsirkan UU KUHAP, maka putusan sama dengan ketentuan RUU saat ini. Dimana putusan akhir PK berdasarkan retrial, bukan membuka peluang PK lebih dari satu kali.
Sebab, cara seperti itu merusak seluruh proses acara pidana, padahal yang dibutuhkan, hanya pemeriksaan kembali, terpidana tidak bersalah.