Rabu 12 Mar 2014 11:51 WIB

Berbekal Semangat Bassem

Tentara Israel menembaki anak-anak Palestina yang melakukan perlawanan dengan lemparan batu di jalanan Alquds.
Foto: EPA/Alaa Badarneh
Tentara Israel menembaki anak-anak Palestina yang melakukan perlawanan dengan lemparan batu di jalanan Alquds.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi

Bassem Abu Rahmah terjatuh. Dadanya dihantam amunisi berisi gas air mata. Tak lama berselang, nyawanya melayang.

Tembakan dilepaskan dalam jarak antara 20 hingga 40 meter. Abdullah Abu Rahmah menuturkan kisah kematian sepupunya itu.

Saat kematian tahun 2009, ia bersama Bassem dan massa dari Desa Bilin, Tepi Barat, Palestina, berunjuk rasa.

Mereka menentang pembangunan tembok pemisah oleh Israel. Tentara Israel mengadang dan menembakkan senjatanya.

“Berkali-kali tentara menembakkan gas air mata secara langsung ke tubuh, kepala, dada, dan bahu kami,” kata Abu Rahmah kepada laman berita Deustche Welle, akhir pekan lalu. Jika gas air mata ditembakkan secara langsung, lebih berbahaya dibandingkan peluru aktif.

Menurut Amnesty International, Bassem merupakan satu dari 45 warga sipil Palestina yang mengembuskan napas ketika terjadi bentrok 2009 itu.

Lembaga pembela hak asasi manusia (HAM) ini menyatakan pasukan Israel membunuh warga Palestina yang tak membahayakan.

Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesty International, Philip Luther, menyimpulkan aksi para tentara itu masuk kategori kejahatan perang. “Mereka sering menyalahgunakan wewenang terhadap pengunjuk rasa damai,” katanya.

Sarit Michaeli, Juru Bicara B'Tselem, organisasi pembela HAM di Israel, mempunyai pandangan sama dengan Amnesty International. Namun, ia menolak tindakan tentara Israel sebagai kejahatan perang. Butuh waktu untuk membuat kesimpulan semacam itu.

Israel memang pernah menggelar penyelidikan kematian Bassem. Namun, kasus ini ditutup pada 2013. Mereka beralasan tak cukup bukti untuk melanjutkan penyelidikan.

Meski Bassem telah pergi selamanya dan penyelidikan dihentikan, sosoknya menjadi penyemangat. Spanduk bergambar dirinya dengan kemeja bergaris lurus menunjukkan itu. Di spanduk tertulis, “Selamat jalan Bassem. Engkau adalah teman kami semua.”

Bassem membantu menggerakkan warga Bilin terus menolak tembok pembatas yang dibangun Israel. Bassem seakan menjelma sebagai pengobar semangat menentang ketidakadilan.

Pekan lalu, sekitar 700 orang, termasuk warga Israel dan aktivis asing, merayakan sembilan tahun perlawanan menentang pembangunan tembok pemisah. Bunyi drum dan kibaran bendera mengiringi iring-iringan massa.

Mereka meneriakkan yel-yel, “Satu, dua, tiga, empat, tak ada lagi pendudukan.” Namun, beberapa menit kemudian barisan mereka kocar-kacir. Penyebabnya, asap mengepung massa dari granat gas air mata yang dilemparkan tentara Israel.

Beruntung pengalaman aksi menentang tembok pembatas selama sembilan tahun dan kematian Bassem menjadi pelajaran.

Menurut Abu Rahmah, mereka yang baru bergabung dalam aksi, sebelumnya dilatih untuk membebaskan diri dari gas air mata.

Mereka diminta melihat arah angin guna menghindari gas air mata. Kadang-kadang, Abu Rahmah dan aktivis senior membekali mereka dengan bawang putih atau barang lainnya untuk melindungi diri dari asap gas air mata.

Namun, pada akhir aksi massa pekan lalu, tentara Israel juga melepaskan tembakan peluru karet. Empat orang menjadi korban.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement