Kamis 13 Mar 2014 05:00 WIB

Larangan Survei 'Lumpuhkan' Kebebasan Akademik

 Paparan hasil survei LSI atas kinerja pemerintahan SBY selama jalannya pemilu 2014, di Jakarta, Ahad (22/12).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Paparan hasil survei LSI atas kinerja pemerintahan SBY selama jalannya pemilu 2014, di Jakarta, Ahad (22/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Sekretaris Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Burhanuddin Muhtadi menilai larangan survei pada masa tenang menjelang Pemilu Legislatif 2014 merupakan tindakan yang mencederai kebebasan akademik.

"Karena kalau ada rilis survei di masa tenang dikhawatirkan memengaruhi pilihan publik," kata Burhan di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, survei dan hitung cepat adalah kegiatan riset ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan politik. Oleh karena itu, larangan seperti itu dinilai dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Asosiasi tersebut sebelumnya mengajukan permohonan uji materi terhadap pasal-pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD kepada MK dengan Nomor Perkara: 24/PUU-XII/2014.

Sejumlah aturan yang digugat oleh Persepi dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dn DPRD di antaranya adalah terkait larangan pengumuman hasil survei pada masa tenang tanggal 6 - 8 Maret 2014. Pengumuman hasil hitung cepat (quick count) juga baru bisa dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai penghitungan suara di Wilayah Indonesia Barat, tiga jam di Wilayah Indonesia Tengah dan empat jam di Wilayah Indonesia Timur.

Selain itu, ada ancaman pidana kepada setiap orang yang mengumumkn hasil survei pada masa tenang serta kepada pelaksana hitung cepat. "Padahal 'quick count' cara yang cukup efektif diterapkan dalam sistem proporsional seperti di negara kita yang menghitung dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat. Sistem seperti ini potensial dengan kecurangan, sementara 'quick count' bisa digunakan untuk mendeteksi kecurangan," ujarnya.

Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan Persepi Abbas Sirojuddin menilai adanya rentang waktu yang lama antara wilayah barat, tengah dan timur juga menimbulkan potensi kecurangan yang tak kalah besar. "Bukan hanya soal waktunya, tapi tentang usaha untuk memelihara wilayah gelap tindakan korupsi semacam ini," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement