REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) diminta berinisiatif menyiasati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali. Sebab, jelang Pemilu 2014, Pemerintah dan DPR dinilai tidak akan optimal mambahas aturan pengganti Pasal 268 Ayat (3) UU KUHAP.
Hakim Agung Gayus Lumbun mengatakan, setelah MK membatalkan ketentuan tersebut, akan ada kekosongan norma. Menurut dia, perlu ada klausul baru yang menjelaskan aturan PK lebih dari satu kali. Pihaknya khawatir, ada yang memanfaatkan kosongnya kepastian hukum.
"Pembuat UU harus mengisi kekosongan norma, berapa kali PK boleh diajukan. Namun kalau melihat kondisi sekarang, MA bisa disarankan membuat aturan internal bagaimana menyikapi PK lebih dari satu kali ini," kata Gayus dalam dialog 'Anstispasi Salah Tafsir PK Lebih Dari Satu Kali' di gedung Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta, Rabu (19/3).
Meski dia setuju dengan putusan MK membatalkan pasal tersebut, namun dia menyatakan, perlu ada batasan dalam hukum. Alasannya, akan ada saja upaya dari kuasa hukum untuk mencari celah, bagaimana agar proses persidangan terus berlanjut hingga permohonannya terkabul.
Menurut Gayus, secara pribadi dia ingin PK itu hanya dibatasi dua kali. Meski tidak tercantum dalam UU, namun, ketentuan itu bisa saja diatur oleh lembaga internal peradilan tinggi tersebut. Berdasarkan UU No.12 Tahun 2011, Peraturan MA (Perma) punya hirarki setingkat UU.
"Wewenang menerbitkan Perma merupakan hak pimpinan MA. Saya tidak tahu kapan atau bagaimananya, ini hanya usulan agar PK lebih dari satu kali tidak dimanfaatkan oleh pengacara dengan mengeluarkan satu per satu bukti atas kasus yang ditanganinnya," ujar dia.
Sekertaris KHN, Mardjono Reksodiputro mengatakan, MA juga harus mengantisipasi banjirnya PK. Mereka tidak boleh merasa terbebani karena itu bagian dari tugasnya. Menurut dia, tidak perlu dibatasi PK hanya boleh beberapa kali, namun mereka harus selektif melihat sebuah novum.
Dia menjelaskan, sebuah novum itu baru bisa dikatakan bukti baru yang benar-benar dapat mengubah putusan hakim. Dengan begitu, tidak semua permohonan PK bisa diterima. Putusan MK yang membatalkan pasal tersebut juga tidak perlu disikapi dengan adanya norma baru.
"Pasal itu hanya mengatur PK hanya boleh satu kali. Kalau MK cabut aturan tersebut, sudah tidak perlu ada lagi norma yang mengaturnya. Ini kan menyangkut rasa keadilan, maka jangan ada batasan PK itu hanya dua kali atau berapa kali," kata Mardjono.
Daripada mempersoalkan bagaimana mengisi norma itu, pihaknya lebih menyarankan, kalau advokat yang mengajukan PK tidak bisa sembarangan. Mereka adalah kuasa hukum senior yang dinilai paham sehingga seleksi PK bisa dilakukan sejak tahapan awal.
Tim Perumus KUHAP, Luhut Sitompul menambahkan, PK itu hanya satu kali. Menurut dia, itu adalah konsep yang dinilai ideal untuk suatu upaya hukum luar biasa. Sebab ada syarat seperti novum, kekhilafan hakim dan pertentangan putusan.
"Pertanyaannya, syarat-syarat tersebut tidak mungkin terjadi berulang kali. Sekarang draf KUHAP dari tim perumus sudah ada di DPR, tinggal tunggu bagaimana mereka mengatur norma dan penjelasannya," ujar dia.
Sebelumnya, MK membatalkan Pasal 268 Ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 perihal pengajuan PK hanya boleh dilakukan satu kali. Putusan tersebut berlandaskan permohonan terpidana dugaan kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, Antasari Azhar.