Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Dengan perasaan gundah dan masih tak percaya, ia melangkahkan kakinya pelan-pelan menaiki bukit. Sepanjang perjalanan, ia menemui bukti kemakmuran sebuah daerah yang semuanya dimiliki Ibnu Arabi.
Ia selalu menanyakan siapakah pemilik ladang-ladang subur yang dilewatinya, kumpulan sapi, domba, kambing, serta jalanan yang bagus dan bersih ini. Jawabannya hanya satu, yang memiliki semua yang ia lihat tersebut adalah Ibnu Arabi.
Langkahnya terasa sangat berat karena pikirannya dipenuhi dengan kekalutan. Ia tak menyangka gurunya yang sangat sederhana itu, yang selalu mendermakan penghasilannya setiap hari, bisa kagum dan berguru pada orang yang materialistis seperti ini.
Akhirnya, langkah kakinya sampai di puncak bukit. Ia pun masuk ke rumah super mewah tersebut. Seumur hidupnya, ia belum pernah menyaksikan kemewahan seperti itu. Ia dipersilakan masuk oleh seorang pelayan, yang membenarkan bahwa rumah ini adalah rumah Ibnu Arabi, yang dicarinya.
Hingga tibalah sang guru sufi, Ibnu Arabi, itu pulang. Kepulangannya disongsong oleh arak-arakan pasukan pengawal kehormatan yang terdiri atas tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata menempel di tubuhnya. Mereka pun mengendarai kuda-kuda Arab yang gagah dan bersih.
Akhirnya, sang murid tersebut diberi kesempatan untuk bertemu dengan Ibnu Arabi. Ia pun semakin tercengang melihat pakaian yang dikenakan Ibnu Arabi yang terbuat dari sutra yang sangat indah dilengkapi dengan surban layaknya sultan.
Sang murid pun menyampaikan pesan dari gurunya dan memohon jawaban dari Ibnu Arabi. “Katakanlah kepada gurumu penyebab kebuntuan jiwanya adalah karena ia masih terlalu terikat pada dunia,” kata Ibnu Arabi memberikan jawaban. Sang murid pun sangat terkejut dan hampir tak percaya pada apa yang didengarnya.
Rasa kagumnya akan benda-benda mewah di hadapannya pun berubah menjadi geram saat mendengar apa pesan yang harus disampaikan kepada gurunya, sang nelayan sederhana tersebut.