REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan maksud Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyusun kembali norma undang-undang yang pernah dianggap bertentangan konstitusi. Hal itu terlihat pada sejumlah pasal yang mengatur pembatasan pengumuman hasil perhitungan cepat pemilu.
MK menggelar sidang perdana atas UU No. 8 Tahun 2012, tentang Pemilu Legislatif (pileg). Permohonan tersebut menguji Pasal 247 ayat (2), (5), (6), dan Pasal 291 serta Pasal 371 ayat (1) dan (2). Norma serupa sebelumnya pernah dibatalkan pada 2009 lalu, namun DPR kembali mencantumkan pada aturan terbaru.
Perhimpunan Survei dan Opini Publik Indonesia (PERSEPI) pun kembali mengajukan uji materi ke MK atas pemberlakuan regulasi itu di UU tersebut. Hakim Konstitusi, Fadli Sumadi mengatakan, harusnya dalam materi permohonan, pihak kuasa hukum menjabarkan permasalahan yang lebih detail.
“Ungkapkan saja, kalau dalam bahasa kesehariannya, ada yang tidak benar pada pihak pembuat undang-undang. Kenapa norma yang pernah dibatalkan MK, justru dimuat kembali sebagai produk hukum baru,” kata Fadil dalam sidang perdana tersebut di Gedung MK, Jakarta, Senin (24/3).
Menurut dia, dengan menempatkan isu tersebut dalam permohonan ini, pihak MK akan menilai persoalan ini sebagai suatu hal yang eye catching. Ketua Mejelis panel MK, Muhammad Alim menambahkan, pihak pemohon harus segera memperbaiki materi yang diajukannya dalam waktu dekat.
Sebab, hanya tersisa waktu dua pekan sebelum pelaksanaan pileg berlangsung pada 9 April mendatang. Majelis panel, kata dia, juga akan membawa pengujian ini ke sidang pleno hakim agar segera diputus.
“Nanti saat pleno, para hakim akan mempertimbangkan bagaimana keputusannya (putusan sela atau putusan cepat),” ujar Alim. Andi Mohammad Ikhbal