Jumat 28 Mar 2014 16:12 WIB

Larang Twitter, Penulis Turki Prihatin

Twitter
Foto: REUTERS
Twitter

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para penulis terkemuka dari Turki dan dari belahan dunia lainnya yang bergabung dalam PEN, sebuah asosiasi penulis internasional, Jumat, menyampaikan surat terbuka yang menyatakan keprihatinan atas ancaman kebebasan berekspresi di Turki.

Orhan Pamuk dan Gunter Grass yang mewakili PEN, mengimbau Pemerintah Turki agar menghormati kebebasan berekspresi yang merupakan hak dasar manusia secara universal, serta menciptakan lingkungan dimana setiap warga negara bisa mengekspresikan diri secara bebas tanpa diwarnai ketakutan akan sensor atau hukuman.

"Kami, yang bertanda tangan dibawah ini, adalah penulis dari seluruh dunia, dimana kami mencintai, hidup dan bernafas dengan kalimat. Kami bersatu dengan kepercayaan bahwa kebebasan berekspresi dan hak manusia paling dasar. Oleh karena itu kami menyatakan keprihatinan atas kebebasan berekspresi di Turki hari ini," demikian isi pernyataan keprihatinan pada penulis internasional tersebut.

"Sebagai umat manusia, kami saling berhubungan melintas batas negara melalui kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Kebebasan berinteraksi sangat penting dalam demokrasi, termasuk juga kebebasan berkreativitas, empati dan toleransi."

"Seperti dalam laporan PEN baru-baru ini mengenai aksi protes, Turki mempunyai banyak masalah dalam kebebasan berekspresi, mulai dari sensorship terhadap media, kekerasan oleh polisi kepada wartawan, sampai yang terakhir memberangus kebebasan berekspresi melalui internet," demikian isi surat tersebut.

Turki berada di peringkat ke-154 dari 180 negara dalam daftar Index Kebebasan Pers Dunia.

Sampai saat ini, penerjemah, editor, penerbit dan penulis harus menghadapi ancaman tuduhan kriminal dan bahkan dipenjara dengan tuduhan melanggar hukum, di antaranya Hukum Anti Teror, Berkumpul dan Demonstrasi, serta berbagai produk hukum lainnya.

Pada Februari 2014 lalu, parlemen Turki mengeluarkan aturan baru soal internet yang memberikan kekuasaan yang hampir tidak terbatas kepada pejabat telekomunasi untuk memperketat kontrol terhadap pelayanan internet.

Korban pertama adalah sekitar 30 juta pengguna Twitter ketika pemerintah minggu lalu melarang penggunaan media sosial tersebut.

Surat protes tersebut ditanda tangani oleh para penulis Turki dan luar negeri, diantaranya Hanan al-Shaykh, Ahdaf Soueif, Elif Shafak, Samar Yazbek, Elfriede Jelinek, Zadie Smith, Salman Rushdie, Alberto Manguel, Margaret Atwood, Peter Englund, Per W?stberg, Sjn, John Ralston Saul, Maureen Freely, Svetlana Alexievich, Can Dndar, Adam Zagajewski dan Karl Ove Knausg.

PEN mempunyai sejarah panjang sebagai organisasi yang mendukung penulis di Turki yang kebebasan berekspresi mereka terancam .

Para wartawan, penulis dan pengguna media sosial sering menghadapi tekanan dan bahkan hukuman dari aparat pemerintah yang berusaha memberangus kebebasan berekspresi, terutama sejak diperkenalkannya aturan baru mengenai internet.

"Pejabat Turki harus mengerti bahwa demokrasi tidak hanya sekedar mendapatkan suara terbanyak saat pemilihan suara. Lebih dari itu, demokrasi adalah budaya keterbukaan, hak azazi manusia dan kebebasan berbicara bagi setiap warga," kata Elif Shafak, salah seorang penulis asal Turki.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement