REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prabowo Subianto berkisah tentang latar belakangnya hingga terjun ke kancah politik. Dia mengaku, tergugah melihat keterpurukan bangsa Indonesia setelah mengalami reformasi pada 1998.
"Semua bermula dan tidak bisa kita pungkiri bermula dari tahun 1998. Keadaan 1998 itu merupakan sesuatu yang mencenggangkan bagi saya. Salah satu pelaku dalam kondisi itu adalah danjen Kopassus, kebetulan saya adalah mantan menantu presiden Soeharto," kata Prabowo saat audiensi dengan Ketua DPP Pepabri Agum Gumelar dan mantan menteri penerangan Yunus Yosfiah di Jakarta, Selasa (22/4).
Prabowo mengaku miris melihat kondisi Indonesia ketika diterpa krisis. Mengingat, pada 1993 Indonesia merupakan negara yang disanjung seluruh dunia. Baik negara barat dan IMF memuji Indonesia sebagai macan Asia.
"Pertumbuhan kita rata-rata delapan persen selama 20 tahun. Belum pernah ada prestasi itu, kecuali RRC (Tiongkok)," kata mantan panglima Kostrad itu.
Sayangnya, menurut dia, pujian itu hanya bentuk bualan belaka. Karena pondasi ekonomi Indonesia seketika runtuh dalam waktu setahun.
Sebagai seorang prajurit TNI yang membela Sapta Marga dan Pancasila, ia melihat seolah-olah TNI tak mampu mempertahankan 1945. "UUD 1945 diamandemen berkali kali, seperti bentuk sekarang. TNI tak mampu berbuat apa-apa, ini membuat saya berpikir," kata Prabowo.
Imbas dari krisis itu membuatnya harus membuat karier miliernya terhenti. Prabowo mengaku, termasuk salah satu pihak yang dijadikan sasaran tembak atas kerusuhan 1998.
"Dengan lengsernya Pak Harto, saya juga ikut keluar dari tentara dengan segala macam predikat dan cerita. Kalau dibutuhkan saya siap beri klarifikasi. Reformasi datang begitu cepat, pengaruh luar negeri datang begitu cepat, sehingga eksistensi RI dalam keadaan bahaya," katanya.
Prabowo melanjutkan, dampak limbungnya sistem perekonomian Indonesia membawa konsekuensi multidimensi.
"Timtim lepas, Aceh akhirnya harus diterima dalam kondisi negara dalam negara dengan sistem agak berbeda, dalam sistem NKRI. Bahkan mereka minta bendera sendiri, minta hukum sendiri, yang berbeda dengan Indonesia. Kita terima itu semua."