REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE - Di negara bagian barat Myanmar, Rakhine jutaan pengungsi muslim Rohingya dihadapkan dengan ketidakpastian hidup, kekerasan dan kemiskinan yang merajalela.
Kondisi yang memprihatinkan tersebut telah mempengaruhi kesehatan anak-anak mereka, yang terancam krisis gizi secara besar-besaran.
Dilansir dari Reuters, Selasa (22/4), para pengungsi mengatakan anak-anak mereka menderita kekurangan gizi. Ancaman tersebut terjadi karena bantuan logistik yang terus diserang di wilayah tersebut.
"Anak-anak saya telah menghadapi masalah pangan selama tiga bulan sejak LSM meninggalkan kami. Kami hidup tidak ada dukungan makanan, tidak ada obat , tidak ada ada bantuan," ujar Sarshidar, seorang pengungsi muslimah Rohingya.
Ia mengungkapkan, gudang makanan milik UNHCR dan UNICEF diserang oleh kelompok fanatik Biksu Radikal Wirathu yang dikenal dengan kelompok 696 pada bulan Maret. Sebagian besar para relawan asing pun akhirnya segera dievakuasi. Sekarang warga mengatakan mereka tanpa bantuan.
Pemimpin komunitas Muslim, Mohammad Ali mengatakan ketika para pengungsi memiliki bantuan pangan, pihaknya masih punya uang dan bisa saling membantu ketika seseorang memiliki masalah kesehatan atau gizi.
"Namun sekarang, tidak ada yang memiliki uang di sini karena tidak ada LSM dan tidak ada yang membantu," katanya.
Namun cerita ini dibantah Wakil Direktur Kementerian Informasi Negara Myanmar Win Myaing. Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena ada kelompok yang menolak menggunakan pengobatan medis pemerintah, maupun dokter. "Mereka berpura-pura menderita karena diabaikan pemerintah, dan mereka sampaikan ini ke media," katanya.
Konflik sosial karena etnis dan agama di Rohingya dinilai sebagai salah satu konflik kemanusiaan terburuk abad ini. Konflik ini setidaknya telah menewaskan ribuan orang di sana sejak Juni 2012. Lebih dari 140.000 telah mengungsi, banyak dari mereka Muslim Rohingya dari negara bagian Rakhine.