Oleh: Naharus Surur
Regulasi zakat sebagaimana kita ketehui bersama adalah UU No. 38 th 1999 tentang Pengelolaan zakat, yang kemudian di amandemen dengan UU No. 23 th 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam kedua UU ini disampaikan bahwa pelaku utama pengelolaan zakat adalah Baznas (badan amil zakat nasional) dengan levelnya sampai Kabupaten/Kota dan LAZ (lembaga amil zakat).
Baznas adalah lembaga pemerintah non- struktural, dimana lembaganya dibentuk berdasarkan UU dan kepengurusannya berdasarkan Keppres.
Kepengurusan (komisioner) Baznas sejumlah 11 orang yang terdiri dari 8 orang dari unsur masyarakat (ulama/ akademisi, praktisi, profesional, dan tokoh masyarakat) dan 3 orang unsur pemerintah (departemen yang terkait dengan urusan zakat).
Dengan demikian menunjukkan independennya lembaga ini, bila dikhawatirkan dikooptasi oleh pemerintah maka sangat berlebihan karena unsur masyarakatnya lebih dominan.
Sementara LAZ lahir sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan zakat, dia lahir dan tumbuh bersama inisiatif dan kompetensi kepengurusannya. Berdasarkan UU ini LAZ yang boleh beroperasi adalah yang sudah mendapatkan legitimasi (izin dan pengukuhan) dari pemerintah.
Sementara yang belum memdapatkan izin harus menyesuaikan dengan segera sesuai dengan tuntutan UU ini dalam kurun waktu maksimal 5 tahun semenjak UU ini berlaku. Hal ini dimaksudkan agar ada kepastian hukum baik untuk pengelola, muzaki dan mustahiknya.
Tugas utama Baznas dan LAZ adalah untuk menghimpun, mendayagunakan dan mengadministrasikan zakat di semua level. Menurut UU ini, semua tugas ini harus dikoordinasikan oleh Baznas.
Hal yang harus dilakukan Baznas berdasar amanah UU ini adalah perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan zakat di seluruh Indonesia. Berdasarkan hal ini, UU mengamatkan agar pengelolaan zakat di Indonesia itu terintegrasi dan sistemik. Tidak ada lagi pengelola zakat yang diluar sistem berdasar UU No.23 th 2011 ini.
*Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).