REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta kejaksaan harus bertanggung jawab atas kematian tersangka dugaan korupsi pengadaan videotron di Kementerian Koperasi dan UKM, Hasnawi Akbar.
"Setidaknya kejaksaan harus berkoordinasi dengan dokter untuk menjelaskan ke publik penyebab dari kematian tahanan," kata Koordinator LSM MAKI, Boyamin Saiman di Jakarta, Jumat.
Tersangka yang juga sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek itu, Hasnawi Bachtiar meninggal di Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur, pada 18 Maret 2014. Hasnawi ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Boyamin menambahkan hal tersebut merupakan bentuk kelalaian karena biasanya seseorang yang ditahan akan dicek kondisi medisnya dan mengetahui rekam medisnya. Karena itu, guna mencegah adanya dugaan negatif dari publik atas kematian yang memegang kunci atas kasus tersebut, kata dia, kejaksaan harus menjelaskan kepada publik mengenai penyakitnya sambil berkoordinasi dengan pihak dokter.
Ia juga meminta agar Komisi Kejaksaan (Komjak) untuk turun tangan meneliti penyebab kematian tahanan tersebut. "Komjak harus turun tangan agar nantinya bisa menjelaskan ke publik," katanya.
Dalam kasus itu, Kejagung juga menetapkan Direktur Utama PT Imaji Media, Hendra Saputra sebagai tersangka dan perkaranya sudah memasuki persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Di dalam dakwaan, disebutkan adanya berkas terpisah antara Hendra Saputra dengan pemilik Pt Imaji Media, Riefan Afrian yang tidak lain merupakan anak dari Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan.
Kasus itu terjadi pada tahun 2012 di Sekretariat Kemenkop dan UKM saat pengadaan dua unit videotron yang dimenangkan oleh perusahaan tersangka dengan harga Rp23,4 miliar. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan, yakni pemenang lelang sudah dikondisikan, harga terlalu tinggi nilainya, dan pekerjaan tidak dilakukan sesuai dengan kontrak.
Selain itu, kata dia, jenis barang tidak sesuai dengan kontrak dan bahkan ada sebagian pekerjaan dilakukan secara fiktif. Akibatnya, keuangan negara dirugikan sebesar Rp17,114 miliar.