REPUBLIKA.CO.ID, Buah pemikiran Al-Kindi itu kemudian menjadi hukum-hukum perspektif pada zaman Renaisans Eropa.
Ditakdirkan untuk menyatukan unsur-unsur sains kealaman dan matematika, Al-Kindi menolak konsep Aristoteles tentang penglihatan sebagai bentuk yang diterima oleh mata dari objek yang sedang dilihat.
Sebaliknya, ia memahami penglihatan ditimbulkan oleh daya pencahayaan yang berjalan dari mata ke objek dalam bentuk kerucut radiasi.
Seiring waktu, pencapaian dunia Islam dalam bidang optik berkembang semakin pesat. Terinspirasi karya Ibnu Sahl, ahli fisika Muslim terkemuka Ibnu Haitham mengembangkan ilmu optik lebih hebat lagi. Salah satunya, Ibnu Haitham mampu menciptakan ''kamera obscura''.
Temuan itu berasal dari upaya Ibnu Haitham untuk mempelajari gerhana matahari. Ibnu Haitham kemudian membuat lubang kecil pada dinding yang memungkinkan citra matahari seminyata diproyeksikan melaluinya ke permukaan datar.
Contoh pertama dari ilmu optik "kamera obscura" ini mendahului prinsip-prinsip fotografi modern. Percobaan-percobaan utama yang dikembangkan Ibnu Haitham dengan menggunakan cermin pembakar berbentuk parabolik, memberi jalan menuju lensa-lensa untuk teleskop dan mikroskop masa depan.
Dengan meneliti mata manusia, Ibnu Haitham mempelajari strukturnya, menganalisis penglihatan stereo, dan merumuskan metode bagaimana manusia menangkap citra. Begitulah, peradaban Islam mengembangkan ilmu optik hingga mampu mengubah dunia.
Berbekal hasil karya dan pemikiran ilmuwan Islam di zaman keemasan, peradaban Barat akhirnya mampu mengembangkan ilmu optik lebih hebat lagi. Meski begitu, mereka tak bisa melupakan jasa umat Islam.