REPUBLIKA.CO.ID, Pengembang meminta agar Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) dikaji lebih jauh. RUU ini ditargetkan selesai sebelum berakhir masa kerja DPR RI, sekitar Desember 2014.
Pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indoensia (REI) melihat pembedahan RUU diperlukan agar produk yang dihasilkan bisa menciptakan pertumbuhan iklim investasi yang kondusif. Sekaligus dalam hal ini menjadi solusi kompherensif terhadap berbagai persoalan pertanahan di Indonesia.
Namun jika mencermati rancangan yang ada, menurut REI, beberapa pasal berpotensi menurunkan daya saing dan kepastian usaha jangka panjang. Misalnya saja, pasal yang menyebutkan tentang pembatasan luasan maksimal untuk pengembangan kawasan perumahan.
Pembangunan perumahan bersifat sementara, sehingga tidak dibutuhkan pembatasan. "Pemilikan dan penguasaan tersebut dari awal tidak dimaksudkan untuk dikuasai dan dimiliki sendiri untuk selama-lamanya oleh perusahaan pengembang, tetapi akan dijual atau dialihkan kepada masyarakat," ujar wakil Ketua Umum DPP REI bidang Pertanahan, Handaka Santosa, Selasa (6/5).
REI melihat bahwa industri perumahan perlu diklarifikasi agar lebih jelas. Contohnya, industri perumahan seluas 40 persen yang yang dimiliki pengembang akan diserahkan kepada pemerintah dalam bentuk Prasarana dan Sarana Umum (PSU), sesuai dengan ketentuan ijin lokasi yang diperoleh pengembang. Lalu 60 persen sisanya akan dikembangkan dan dijual ke masyarakat, atau sebagian dikelola pengembang. Adapun perwujudannya berupa sarana komersial pendukung pengembangan kawasan seperti sekolah, mall dan perkantoran.
Hal lain yang juga perlu dicermati yaitu pelibatan masyarakat dalam pembuatan masterplan pengembangan kawasan. REI berpendapat fungsi ini sudah diwakili melalui DPRD. Lalu REI juga meminta agar pemilik asing dibatasi investasinya. Misalnya orang asing tidak boleh membeli perumahan rakyat, atau ada harga minimal dan jangka waktu yang sebanding diterapkan dengan negara lain.
Terakhir, pengembang meminta agar ada kesetaraan Status Hak Pakai. Menurut REI, dalam praktek kini status Hak Pakai lebih rendah dari Hak Guna Bangunan. Untuk itu perlu ketegasan Bank Indonesia agar ketentuan ini berjalan sehingga hak pakai setara dengan HGB dalam hal pembiayaan perbankan.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indoenesia, Arie Sukanti Hutagalung menambahkan, bahwa diperlukan pembenahan kelembagaan dan instansi yang mengatur mengenai tanah. Selain itu, kegiatan usaha perumahan harus diatur dalam ketentuan khusus. Ketentuan ini harus dapat mencakup dua aspek yaitu memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha perumahan dan mendorong pengusaha berkontribusi menyajikan perumahan bagi masyarakat miskin.
Hal ini menurut dia sesuai dengan konsep hunian berimbang yang diatur dalam UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman jo Permenpera No.10 tahun 2012yang dirubah sebagian dengan Permenpera No.7 tahun 2013. Pemerintah juga perlu melakukan pengawasan terhadap penerapan aturan ini. Pengembang yang melanggar harus diberikan sanksi yang tegas.
Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Badan Pertanahan Nasional RI, Gede Ariyuda mengatakan bahwa pemerintah sadar bahwa RUU Pertanahan belum seluruhnya menampung aspirasi semua pihak. Banyak persoalan pertanahan antara satu dengan yang lain masih menimbulkan masalah sehinga banyak hal yang masih diperdebatkan.
Contohnya seperti bahasan mengenai pengaturan hak Pengelolaan.
Ada yang mengatakan bahwa Hak Pengelolaan merupakan aset. Namun ada pula yang mengayakan bahwa Hak pengelolaan merupakan kerjasama pihak ketiga sehingga bukan aset, meskipun kenyataannya lebih banyak dimanfaatkan untuk bisnis. "Beberapa hal masih bersifat debatable, salah satunya Hak Pengelolaan," kata Gede.