Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Selain kesehatan, terdapat aspek religi bagi teknologi rekayasa genetis.
Makanan yang mengandung bahan rekayasa genetis akan haram jika menggunakan gen atau enzim babi, menggunakan gen hewan, dan disuntikkan pada sayuran.
Di samping itu pula, kata dia, bersifat menjijikkan jika menggunakan bakteri Escerichia Coli yang didapatkan dari tinja untuk memproduksi hormon tertentu.
Dia pun merekomendasikan perlunya penelitian lanjutan agar bahan-bahan rekayasa genetika tersebut, selain aman dari aspek kesehatan, juga tidak bermasalah dari segi syar’inya.
Polemik tanaman rekayasa di Tanah Air mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa secara khusus.
Pada Agustus 2013 MUI menyatakan rekayasa genetika terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan, dan mikroba (jasad renik) adalah boleh (mubah) dengan sejumlah syarat, yaitu bertujuan untuk kemaslahatan, tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan, dan tidak menggunakan gen atau bagian lain yang berasal dari tubuh manusia unsur lain yang diharamkan, seperti enzim babi.
Auditor LPPOM MUI Chilwan Pandji mengimbau produsen sebelum mencantumkan label halal pada produk rekayasa genetis agar melakukan uji coba apa sajakah bahan kimia atau gen yang digunakan. “Harus diverikasi terlebih dahulu,” kata dia.
Makanan tersebut bisa dinyatakan halal, ungkap dia, bila media GMO yang digunakan berasal dari media dan gen tersebut halal dan tidak terkontaminasi dengan unsur haram.
Bila pada faktanya produk tersebut memakai unsur haram, seperti penggunaan mikroba, gen dari unsur haram, seperti enzim babi atau gen manusia, maka bisa divonis haram.
Terlebih, efek negatif yang diakibatkan dari mengonsumsi makanan hasil rekayasa genetis dengan bahan haram tersebut.