Oleh: Laily Dwi Arsyianti*
Diskusi tentang kemiskinan telah berlangsung di antara pakar Islam. Seperti, Ibn Hazm (994-1066 AD) yang dikutip oleh Sadeq (1992) yang menghubungkan kemiskinan dengan pemenuhan kabutuhan dasar.
Ia menjelaskan bahwa terdapat empat kebutuhan dasar yang menjadi indikator kemiskinan. Keempat kebutuhan dasar yang menjadi ukuran standar hidup manusia tersebut di antaranya adalah: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal.
Ibn Hazm mengatakan bahwa pemerintah dan orang kaya juga mempunyai tanggung jawab memastikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.
Al-Ghazali (1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan, dan tidak termasuk memuaskan pemenuhan kebutuhan yang tidak mendasar.
Al-Ghazali membagi kemiskinan ke dalam dua bagian: i) kemiskinan dalam kebutuhan material dan ii) kemiskinan dalam kebutuhan spiritual.
Ahmed (2004) mengungkapkan kemiskinan bukan hanya terkait produk dan jasa melainkan juga termasuk kemiskinan rohani. Bahkan Rehman (1980) berpendapat bahwa dalam Islam, seseorang dapat mening katkan kehidupan spiritualnya melalui peningkatan kehidupannya secara material.
Lebih jauh lagi, Chapra (2001) memandang bahwa dalam Islam, seseorang harus seimbang antara hal spiritual dan duniawinya. Al-Ghazali juga menyatakan bahwa setiap makhluk berada dalam ke miskinan kecuali Yang Maha Hidup, Allah.
Hal ini sebagaimana tertera dalam QS Muhammad: 38 yang menerangkan bahwa Allah-lah Yang Maha Kaya sementara kita adalah orang yang miskin. Sadeq (1992) menyatakan bahwa fakir dalam ayat tersebut yang menyangkut masalah ekonomi mempunyai dua pengertian.
Pertama, terkait tingkat pendapatan yang absolut, di mana terdapat tingkat yang paling minimum untuk dipenuhi. Kedua, kemiskinan absolut yang terdiri dari individu maupun keluarga yang berada pada garis absolut tanpa harus memandingkannya dengan yang lain.
*Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB