Senin 26 May 2014 20:36 WIB

Zakat dan Kemiskinan Multidimensi (3)

Pemulung cilik berjalan saat mencari sisa sampah di kawasan Jakarta Timur. Bank Dunia melaporkan sekitar 870 juta orang hidup sangat miskin di seluruh dunia.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Pemulung cilik berjalan saat mencari sisa sampah di kawasan Jakarta Timur. Bank Dunia melaporkan sekitar 870 juta orang hidup sangat miskin di seluruh dunia.

Oleh: Laily Dwi Arsyianti*

Diskusi tentang kemiskinan telah berlangsung di antara pakar Islam. Seperti, Ibn Hazm (994-1066 AD) yang dikutip oleh Sadeq (1992) yang menghubungkan kemiskinan dengan pemenuhan kabutuhan dasar.

Ia menjelaskan bahwa terdapat empat kebutuhan dasar yang menjadi indikator kemiskinan. Keempat kebutuhan dasar yang menjadi ukuran standar hidup manusia tersebut di antaranya adalah: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal.

Ibn Hazm mengatakan bahwa pemerintah dan orang kaya juga mempunyai tanggung jawab memastikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.

Al-Ghazali (1980) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan, dan tidak termasuk memuaskan pemenuhan kebutuhan yang tidak mendasar.

Al-Ghazali membagi kemiskinan ke dalam dua bagian: i) kemiskinan dalam kebutuhan material dan ii) kemiskinan dalam kebutuhan spiritual.

Ahmed (2004) mengungkapkan kemiskinan bukan hanya terkait produk dan jasa melainkan juga termasuk kemiskinan rohani. Bahkan Rehman (1980) berpendapat bahwa dalam Islam, seseorang dapat mening katkan kehidupan spiritualnya melalui peningkatan kehidupannya secara material.

Lebih jauh lagi, Chapra (2001) memandang bahwa dalam Islam, seseorang harus seimbang antara hal spiritual dan duniawinya. Al-Ghazali juga menyatakan bahwa setiap makhluk berada dalam ke miskinan kecuali Yang Maha Hidup, Allah.

Hal ini sebagaimana tertera dalam QS Muhammad: 38 yang menerangkan bahwa Allah-lah Yang Maha Kaya sementara kita adalah orang yang miskin. Sadeq (1992) menyatakan bahwa fakir dalam ayat tersebut yang menyangkut masalah ekonomi mempunyai dua pengertian.

Pertama, terkait tingkat pendapatan yang absolut, di mana terdapat tingkat yang paling minimum untuk dipenuhi. Kedua, kemiskinan absolut yang terdiri dari individu maupun keluarga yang berada pada garis absolut tanpa harus memandingkannya dengan yang lain.

*Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement