REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi mantan menteri luar negeri (Menlu) Nur Hassan Wirajuda membenarkan banyaknya kegiatan sidang internasional di Indonesia yang berlangsung secara dadakan.
Akibatnya, biaya untuk mengadakan konferensi medio 2004-2005 itupun tidak berasal dari anggaran Departemen Luar Negeri (Deplu), melainkan dari APBN.
“Karena saat itu banyak konferensi dadakan, dari 17 yang dilakukan, hanya 2 yang sudah direncakan sejak awal,” ujar Hassan saat bersaksi dalam kasus pemberian ‘uang lelah’ medio 2004-2005 pada Deplu di Pengadilan Tipikor DKI Jakarta, Rabu (28/5).
Hassan mengemukakan, bukan tanpa alasan saat itu banyak konferensi dadakan yang dilaksanakan oleh Indonesia. Dia mengatakan, sesuai titah presiden, saat itu perlu diadakan ragam sidang internasional di Indonesia untuk membuktikan keamanan dalam negeri kepada dunia internasional.
Dia berujar, usai tragedi 9/11 di Amerika Serikat dan adanya tragedi Bom Bali dan Kuningan, nama Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim ikut tercoreng. Untuk meyakinkan bahwa Indonesia adalah negara muslim yang damai, Deplu pun diperintahkan untuk sering mengundang perwakilan negara-negara lain untuk melakukan konferensi di dalam negeri.
“Ada yang dipersiapkan hanya dalam waktu 7 hari seperti KTT Tsunami dan KTT Asia Afrika yang disiapkan tak lebih dari waktu sebulan,” kata Hassan.
Kesaksian Hassan ini berkaitan dengan keterangan yang terungkap dalam persidangan sebelumnya. Diketahui, pada medio 2004-2005, terjadi bagi-bagi ‘uang lelah’ dengan total miliaran yang diberikan saat konferensi usai.
Dari sekian banyak kegiatan itu, banyak dokumen laporan hasil konferensi yang dibuat mendadak. Diduga, hal ini dilakukan agar pembagian ‘uang lelah’ dapat dilakukan dengan administrasi lengkap yang kelak dapat dijadikan bukti bahwa pembagian uang panas itu bukan masalah.
Meski demikian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) melihat ada kerugian negara hingga Rp 11,091 miliar akibat aksi bagi-bagi uang itu.