REPUBLIKA.CO.ID, Peneliti senior Institute for Oriental Studies of Russian Academy of Sciences, Ruslan Kurbanov, dalam tulisannya "Muslims in Tajikistan" di laman onislam.net menulis, di bawah jajahan Imperium Rusia sejak abad ke-19, Tajikistan resmi dijadikan bagian Uni Soviet pascaRevolusi Sosialis Rusia pada 1917.
Selama berada di bawah kekuasaan Partai Komunis, Uni Soviet mulai bertin dak opresif terhadap umat Islam dan membuat masyarakat Tajikistan terpolarisasi dalam tiga kelompok: sekuler, ateis, dan anti- Islam.
Muslim Tajikistan dapat kembali tampil setelah keruntuhan Uni Soviet pada 1991 dan munculnya Party of Islamic Revival (PIR) setahun setelahnya. Kebebasan ini sempat memicu perang saudara hingga 1997 dan membuat Tajikistan dipimpin pemerintahan sekuler. Tokoh Islam, Said Abdullo Nuri dari PIR, muncul sembagai pemersatu dalam rekonsiliasi pada 1992.
Dibentuknya Komisi Rekonsilisasi Na sional (NRC) membuat umat Islam leluasa menjalankan berbagai kegiatan. Namun, perpecahan di internal kubu Presiden Emomali Rahmon justru membawa kabar buruk bagi umat Islam. Bertetangga dengan Afghanistan membuat penguasa mencurigai gerakan ekstrem.
Pada 1999 Muslim Tajikistan sempat mengalami pelarangan, seperti dilarangnya anak di bawah usia 18 tahun mengikuti kegiatan di masjid dan dilarangnya Musli mah berhijab di beberapa ranah dengan alasan menekan radikalisme.
Sekira tahun 2000, Rahmonov yang menjalankan pemerintahan sekuler menu tup tak kurang dari 70 masjid dan mulai kembali membatasi kegiatan umat Islam.
Ruslan melihat pertumbuhan politik Islam yang siginifikan dalam masyarakat Tajikistan berpotensi menyebar ke ber bagai negara Asia Tengah. PIR hingga saat ini merupakan satu-satunya partai Islam yang sah di Tajikistan dan di antara negara-negara pecahan Uni Soviet.
Hingga kini, Muslim Tajikistan masih memperjuangkan kebebasan nilai Islam di negeri mayoritas Muslim itu.