REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beredar bocoran surat yang disebut-sebut sebagai surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) di dunia maya. Dalam surat DKP tersebut, dinyatakan Prabowo Subianto, yang saat itu berpangkat Letnan Jenderal, bersalah dalam kasus dugaan penghilangan paksa para aktivis pro demokrasi. Konsekuensinya, DKP merekomendasikan untuk memberhentikan Prabowo dari dinas militer.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan, bocoran surat yang ditenggarai merupakan surat keputusan DKP, harus diperhatikan secara serius oleh semua pihak, khususnya petinggi militer yang masuk DKP.
Karena dengan sangat jelas Prabowo dinyatakan diberhentikan dari dinas militer. Sehingga, sangat tak elok, bila kemudian tentara yang pernah diberhentikan dari dinas militer, nanti menjadi panglima tertinggi TNI alias Presiden.
"Secara etik keprajuritan memang menjadi kontradiktif apabila seseorang yang pernah diberhentikan kemudian menjadi panglima tertinggi. Kecuali, kemudian ada upaya untuk meralat pemberhentian," kata Bonar di Jakarta, Ahad (8/6).
Bonar menyatakan, tuntutan agar Mabes TNI membuka kepada publik isi dari penyelidikan yang dilakukan DKP sebenarnya sudah dilontarkan sejak lama oleh para penggiat Hak Asasi Manusia (HAM). "Harus diingat bahwa itu (surat DKP) bukanlah rahasia negara," kata Bonar.
Menurut Bonar, TNI mempunyai kewajiban untuk transparan dan bertanggungjawab kepada negara dalam hal ini adalah rakyat. Sehingga, rakyat mendapat informasi yang benar.
Apalagi sekarang, Prabowo sudah tercatat sebagai capres. Sehingga, mereka mesti mendapat gambaran jejak rekam Prabowo yang gamblang, tanpa ditutup-tutupi. Termasuk Presiden SBY, yang tercatat sebagai salah satu anggota DKP.
"Di lain pihak tindakan pemberhentian Prabowo itu hanyalah dari sisi keprajuritan, tapi dia belum mempertanggung jawabkan secara hukum atas perbuatannya," ujarnya.