REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Mahkamah Agung Libya menyebut pemilu Ahmed Maetig sebagai perdana menteri Libya telah melanggar konstitusi. Maetig (42 tahun) terpilih dalam parlemen pada awal Mei kemarin dalam sebuah pemilu yang telah diperdebatkan sejumlah politisi dan ahli hukum.
Pihak oposisi bersikukuh jumlah kuota tidak mencukupi saat itu. Sejumlah anggota parlemen serta ahli hukum pun mempermasalahkan hasil pemilu. “Pengadilan memutuskan penunjukan Ahmed Maitig sebagai perdana menteri dari pemerintahan sementara melanggar konstitusi,” kata laporan dari sebuah televisi, dilansir dari VOA news.
Menurut laporan Aljazeera, Kongres Umum Nasional (GNC) akan tunduk pada peraturan peradilan dan Abdullah al-Thinni akan tetap menjadi perdana menteri sementara. GNC sendiri akan dijadwalkan bertemu pada Selasa untuk memutuskan langkah selanjutnya.
Hingga kini, Maitig masih belum memberikan responnya. Namun, wakil pembicara kedua parlemen, Salah Makhzoum, mengatakan legislatif akan menghormati hukum. “Mulai saat ini, Abdullah Al-Thinni adalah perdana menteri sementara hingga kongres mempelajari alasan pengadilan memutuskan bahwa pemilu Maiteg melanggar konstitusi,” katanya.
Thinni telah mengumumkan pengunduran dirinya pada awal tahun ini setelah kelompok bersenjata menyerang keluarganya. Namun, ia mendesak bahwa penggantinya harus dipilih oleh parlemen baru daripada hanya menunjuk pendahulunya. Ia pun juga menolak mengakui kabinet Maetig.
Sebelumnya, Maetig telah terpilih setelah meraih sebanyak 121 suara. Pemilihan Maetig membuat Thinni menolak untuk memberikan kekuasaannya hingga pengadilan memutuskan masalah itu. Penunjukan Maetig ini menambah kekisruhan di Libya di saat Khalifa Haftar melancarkan serangan terhadap Ansar al-Sharia.