REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan deputi gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa, Budi Mulya mengaku emosional menjelang sidang pembacaan vonis terhadap dirinya dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
"Kalau boleh cerita, jaksa menyalahkan apa yang diambil BI dan pemerintah sebagai kesalahan. Kebijakan dianggap kesalahan. Siapa institusi yang bisa menganggap kebijakan itu salah? Hanya mereka yang bisa menganggap kebijakan salah. Saya agak emosi, tapi itu keluar dari saya sendiri karena saya berharap kita harus memunculkan kebenaran," kata Budi Mulya di gedung pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (16/7).
Budi Mulya dalam perkara ini dituntut pidana penjara selama 17 tahun ditambah denda Rp800 juta subsider delapan bulan kurungan dan diharuskan membayar uang pengganti Rp 1 miliar subsider tiga tahun kurungan. "Kalau ada 'penumpang gelap' dalam kebijakan, itu yang harus dikejar, jangan saya. Saya mengabdi di bidang moneter. Kita harus cari kebenaran yang sebenarnya," tambah Budi.
Dia mengaku, merasa emosi karena berpisah dalam waktu lama dengan keluarganya. "Saya agak emosi karena delapan bulan satu hari sudah dipisahkan dari orang-orang yang saya cintai," ungkap Budi. Dia pun meminta semua pihak agar mencermati pertimbangan hakim. "Saya yakin kebenaran harus tampil mengalahkan kebatilan."
KPK sendiri meyakini bahwa tuntutan yang diajukan sudah sesuai dengan fakta yang terjadi. "Kebijakan hanyalah cover untuk menyembunyikan sarana perwujudan delik berupa perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan," kata Wakil Ketua Bambang Widjojanto.
Jaksa KPK menuntut Budi Mulya dengan dakwaan primer dari Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.