Oleh: Nashih Nashrullah
Keresahan yang sama juga dibaca dengan baik oleh Ibnu Mandhur (w 711 H/1312 M). Pemilik nama lengkap Jamal ad-Din Muhammad bin Mukarram bin Mandhur ini tidak ingin tinggal diam melihat perbendaharaan kata yang semakin membludak.
Fenomena ini tentu sulit dibendung. Penyebabnya nyaris sama dengan apa yang dikhawatirkan oleh al-Farahidi, yakni persinggungan Islam dengan dunia luar.
Kamus yang terdiri dari delapan puluh ribu materi kata itu memang tidak berangkat dari titik hampa. Ibnu Mandhur merujuk pada lima kitab kamus yang pernah ditulis sebelumnya, yaitu Tahdzib al-Lughah karya Abu manshur, Al-Muhkam karya Abu al-Hasan Ali bin Isma'il, Al-Shihah karya al-Jauhari, Hasyiyat al-Shihah karya Ibnu Bari, serta An-Nihaya besutan Ibn al-Atsir.
Dalam mukadimah kamusnya itu, Ibnu Mandhur menuturkan, kamus ini ia susun untuk menjaga bahasa Arab yang memiliki akar kenabian nan kuat. Sebab, dengan bahasa inilah Alquran dan hadis diwahyukan.
Publik lebih tertarik menekuni bahasa asing ketimbang menguasai bahasa Arab. Perlahan, bahasa Arab justru tidak dilirik.” Aku memutuskan membuat kamus Arab yang mereka tertawakan, sama saat umat Nabi Nuh AS menertawakan pembuatan bahtera yang megah,” tutur Ibnu Manzhur.
Salah satu karakter bahasa adalah selalu berkembang mengikuti berbagai hal yang berdinamika saat itu. Bisa jadi mengekor pada kelaziman, popularitas, dan tak jarang merujuk pada “selera pasar”. Terlebih di era sekarang ini yang nyaris meniadakan sekat dan batas wilayah serta komunikasi antarnegara.
Maka, penyesuaian bahasa adalah keniscayaan, dengan tetap mempertahankan bahasa awal. Sebab, fungsi bahasa bukan sebatas alat komunikasi, tetapi bahasa adalah juga sebagai identitas suatu bangsa.