Kamis 14 Aug 2014 13:46 WIB

PP Aborsi Bertentangan dengan Sumpah Profesi Dokter

Rep: C60/ Red: Erik Purnama Putra
seorang tersangka praktik aborsi, dr H Edward Armando (kanan).
Foto: Antara
seorang tersangka praktik aborsi, dr H Edward Armando (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi terus menuai kontroversi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengusulkan agar PP tersebut dievaluasi karena bertentangan dengan sumpah profesi dokter.

“Kami disumpah untuk melestarikan kehidupan," ujar Ketua IDI, Zainal Abidin kepada Republika, Kamis (14/8). Atas pertimbangan itu, Zainal menegaskan, ketidaksepakatnya terhadap isi PP ini.

Selain itu, Zainal juga mengatakan, tindakan aborsi bertentangan dengan KHUP yang dapat menyebabkan teknisi medis pelaku aborsi dikenai hukuman. Lebih dari itu dia mengatakan, hukuman yang dikenakan kepada dokter akan lebih berat dari pada hukuman yang diterima unsur lain. 

Selanjutnya dia mengimbau agar tidak melibatkan dokter dalam kasus aborsi. "Jadi, saya berharap agar tidak melibatkan dokter dalam tindakan aborsi," kata Zainal.

Menurut Zainal, kendati secara hukum dokter pelaku aborsi dijamin oleh peraturan yang berlaku, namun hati nurani dokter tidak akan membenarkan perilaku tersebut. Pasalnya, kata dia, perilaku aborsi menghilangkan hak hidup seorang anak.

Dia menjelaskan sumpah profesi dokter mengacu pada teori Phytagoras yang menjamin kelestarian kehidupan manusia sejak dari dalam kandungan. Lebih lanjut, ia mengimbau, agar PP tersebut dievaluasi dengan mendudukkan aturan yang lain sehingga aturan tersebut tidak berkonsekuensi ganda.

Tentunya dengan mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat, adat istiadat, etika, kesusilan, dan agama. Kendati demikian, menurut dia, tidak satu pun agama di Indonesia yang membolehkan aborsi.

Sebelumnya, 21 Juli lalu, pemerintah telah menerbitkan PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi. PP ini mengacu pada Pasal 75 Ayat (1) UU Kesehatan. Dalam pasal 31 hingga 39, dijelaskan seluk beluk aborsi yang diperbolehkan karena dua hal, yakni kondisi medis ibu dan kehamilan karena perkosaan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement