Sabtu 16 Aug 2014 01:00 WIB
Menelisik Gerakan ISIS

Cegah Radkalisme Agama Dimulai dari Masjid

Rep: c78/ Red: Bilal Ramadhan
 Sejumlah santri di Ponpes Lirboyo Kediri menjalani pemantapan dakwah Allussunah Wal Jamaah (Aswaja) untuk menangkal penyebaran paham radikalisme Islam.
Foto: Antara/Arief Priyono
Sejumlah santri di Ponpes Lirboyo Kediri menjalani pemantapan dakwah Allussunah Wal Jamaah (Aswaja) untuk menangkal penyebaran paham radikalisme Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Dalam upaya mencegah radikalisme atas nama agama, masyarakat harus saling menjaga dan memperhatikan tempat ibadah yang biasanya dijadikan sarana penyebaran paham radikal oleh kelompok tertentu.

Terutama para pengurus masjid dan musala, didukung tokoh agama di masing-masing daerah, harus menjaga masjid dari para pendatang pembawa paham radikal. “Masjid itu tempat yang pertama harus dijaga, jangan sampa kebobolan,” kata Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar pada Jumat (15/8).

Alasannya, di Indonesia, masjid dan musala merupakan sarana ibadah yang terbuka, dan tersebar luas di seluruh pelosok nusantara. Dikatakan Wamen, masjid merupakan tempat strategis, berada di tengah umat dan dapat diakses secara mudah lagi gratis lengkap dengan pencahayaan.

Maka dari itu, ia mengimbau agar para pengurus masjid berhati-hati ketika ada gejela “aneh” yang ditampilkan jamaah baru. Saat ini, di samping pemerintah yang bekerja dalam penegakkan hukum dalam menanggulangi gerakan radikal, ia menitip pesan, agar para pengurus masjid membantu melakukan pencegahan pertama, dengan proaktif mengawasi dan bertanya, agar masjid tak dimanfaatkan sebagai sarana tebar permusuhan.

Lebih lanjut, ia menilai, seseorang yang melakukan aksi radikal atas nama Islam, boleh jadi orang tersebut baru mempelajari Alquran secara sepotong-sepotong. Sebab ajaran Islam memiliki prinsip rahmatan lil alamin.

Maka, semakin dalam seseorang mempelajari Islam, maka semakin sulitlah orang tersebut terpegnaruh paham radikal. Merujuk pada salah satu teori seorang antropolog, ia menyebut radikalisme lahir akibat future shock di mana kemajuan dan perubahan dunia melampaui perkiraan manusia.

Perubahan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan dari mulai pola pikir, gaya hidup hingga pola kerja. Semua itu erat kaitannya dengan perkembangan teknologi yang pesat serta arus globalisasi yang tak terbendung.

Di sisi lain, umat Islam memiliki sejarah kejayaan di masa lalu berupa kekholifahan dan dinasti yang runtuh lebih cepat di luar prediksi. Maka, ada keinginan dari sekelompok orang untuk menegakkan kembali kejayaan Islam dengan menegakkan syariat Islam dalam bingkai khilafah.

Dari situasi tersebut, lanjut Wamenag, lahirlah empat kelompok manusia, yakni kalangan liberal, kalangan garia keras, golongan moderat, dan yang terakhir golongan masa bodoh alias tidak peduli tentang situasi dunia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement