REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus berupaya meyakinkan masyarakat bahwa PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi tidak bertentangan dengan aturan hukum lain.
Dalam jumpa pers, Selasa (19/8), Kepala Bagian Penyusunan Perundang-Undangan Biro Hukum Kemenkes Sundoyo menjelaskan, para dokter tidak akan dikenakan hukum pidana ketika memberikan pelayanan aborsi, dengan merujuk pada ketentuan peraturan tersebut.
Sundoyo menerangkan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), memang tindakan aborsi, tanpa terkecuali bisa dipidanakan.
"Namun, dalam hukum mengenal asas lex specialis derogat legi generalis, hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum," ujar Sundoyo, di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan.
Sehingga, menurut Sundoyo, klausul aborsi karena pertimbangan kedaruratan medis dan akibat perkosaan yang terdapat dalam PP 61/2014, bisa dianggap pengecualian di luar ketentuan KUHP.
Sundoyo lanjut menjelaskan, kelahiran PP 61/2014 merupakan amanat UU Kesehatan (No. 36/2009), pasal 74 ayat (3), pasal 75 ayat (4), pasal 126 ayat (4), dan pasal 127 ayat (2). Hal tersebut, menurut dia menjadi dasar hukum kehadiran aturan tersebut.
Menurut dia, lahirnya PP 61/2014 akan diikuti oleh penyusunan Peraturan Menteri (Permen) sebagai panduan operasional.
"Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang tata acara pembentukan UU, dijelaskan bahwa Peraturan Menteri mengikuti peraturan yang lebih tinggi. Maka, peraturan-peraturan menteri hanya bisa ditetapkan setelah PP-nya disahkan," kata Sundoyo.
Jadi menurut dia, Permen-Permen pendukung sebagai penjelas tidak bisa hadir bersamaan dengan PP, sebagaimana diinginkan masyarakat awam. Pernyataan Sundoyo tersebut ditegaskan oleh Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
"Dengan adanya PP ini, dokter jadi tidak usah khawatir. Kalau dalam keadaan kedaruratan medis dan korban perkosaan, itu (aborsi) bisa dilakukan," kata Nafsiah.