REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan 50 persen perusahaan pertambangan yang kini menjalankan usaha di tanah air tidak membayar royalti kepada pemerintah.
"Itu baru royalti, belum lagi mereka ini tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sehingga tidak memiliki NPWP. Coba bayangkan berapa kerugian negara dari sektor pertambangan saja. Triliunan," kata Ketua KPK Abraham Samad di Mataram, Jumat (12/9).
Ia pun mengaku sudah meminta pemerintah untuk mencabut izin perusahaan tambang yang menyalahi aturan dan telah merugikan bangsa Indonesia tersebut.
"Sumber daya alam kita itu sungguh luar biasa dan merupakan penghasilan nomor dua setelah pajak. Bahkan, di masa lalu sumber daya energi ini paling banyak kebocorannya," tegasnya.
KPK pun pernah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk merenegosiasi seluruh kontrak perusahaan pertambangan yang kini beroperasi di Indonesia.
Sayangnya, Samad menilai pemerintah tak serius dengan upaya renegosiasi.
"Tapi rupanya ini tidak serius dilakukan pemerintah, karena ada kekhawatiran pemerintah digugat di sidang arbitrase internasional," ujarnya.
Disebutkannya, dari kalkulasi KPK potensi kerugian negara dari sektor pertambangan dan energi saja bisa mencapai 10 ribu triliun pertahun, sedangkan jika potensi tersebut diperoleh secara maksimal, pemerintah Indonesia bisa mendapatkan memperoleh keuntungan Rp15 triliun dari sektor pertambangan.
Oleh karena itu, kata Abraham Samad mengapa saat ini KPK tengah serius mengontrol perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan yang kini tengah beroperasi di Indonesia. Termasuk, serius dalam menangani kasus korupsi di Kementerian ESDM yang salah satunya telah menyeret mantan Menteri ESDM Jero Wacik menjadi tersangka.