REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti pada Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Ardian Sopa menilai "arsitektur" kabinet Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) merupakan wujud kompromi politik yang dilakukan tanpa mengubah gagasan awal terkait kabinet profesional.
"Jokowi sudah berulang kali menginginkan kabinet profesional. Tapi politik adalah seni berkompromi, dan ini wujud kompromi beliau, tanpa mengubah gagasan awalnya (mengenai kabinet profesional)," ujar Ardian di Jakarta, Kamis (18/9).
Dia memandang segala yang diutarakan Jokowi mengenai kabinetnya pada masa kampanye lalu, pada akhirnya menemui benturan-benturan politik, yang harus diselesaikan dengan cara berkompromi.
"Misalkan ada aturan menteri tidak boleh ketua umum partai politik, bisa saja nanti diganti menjadi ketua pembina. Nah kompromi-kompromi seperti itu yang bisa terus berlanjut," nilai dia.
Sebelumnya Jokowi mengumumkan arsitektur kabinetnya akan terdiri dari 34 kementerian, sama dengan postur Kabinet Indonesia Bersatu II.
Dari jumlah tersebut, 18 kementerian di antaranya akan dipimpin oleh menteri dari kalangan profesional non-partai, sedangkan 16 kementerian lainnya dipimpin oleh menteri dari kalangan partai politik.
Keputusan Jokowi ini sempat menerima respons negatif dari kalangan advokat. Kalangan advokat ini menilai Jokowi tidak konsisten dengan janjinya merampingkan kabinet dan membentuk "zaken kabinet" atau kabinet yang diisi orang-orang profesional.
Sejumlah advokat dari Kantor Pengacara Djamaludin Koedoeboen melayangkan somasi kepada Joko Widodo karena dinilai tidak konsisten terhadap janji-janjinya soal perampingan kabinet dan mengutamakan menteri-menteri dari kalangan profesional.
"Kami dari kantor pengacara Djamaludin Koedoeboen, SH and Partners, melayangkan somasi kepada Jokowi sebagai Presiden terpilih berkaitan dengan inkonsistensi dalam pembentukan kabinetnya," kata Djamaludin di Rumah Transisi, Jakarta, Rabu (17/9).