REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Agama (Menag) Prof Nasaruddin Umar mengatakan, Kementerian Agama (Kemenag) memiliki banyak fungsi, diantara fungsinya adalah kompromi politik. Jika melihat sejarah, kata dia, kompromi politik ini sangat penting.
"Salah satu fungsi yang paling historis dari Kementerian Agama ialah kompromi politik," ujar Prof Nasaruddin saat sambutan dalam apel Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenag 2024 di Bogor, Jumat (15/11/2024).
Jika membaca sejarah lahirnya Kementerian Agama, kata dia, maka peranan kompromi politik tersebut sangat penting. Dia pun mencontohkan pada detik-detik yang sangat menentukan ketika menetapkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.
Pada saat itu, menurut Prof Nasaruddin, frasa yang terdapat dalam Piagam Jakarta adalah "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Frasa tersebut kemudian diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945.
"Tentu bagi kita, bukan hanya hikmah terjadi pada masa perubahan itu, tapi juga dengan sendirinya meringankan beban Kementerian Agama," ucap Prof Nasaruddin.
Seandainya frasa tersebut tidak diubah, masyarakat Indonesia pasti akan berhadapan dengan persoalan-persoalan konseptual. Karena, dalam Islam sendiri, terdapat banyak aliran atau mazhab.
"Tetapi dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa ini, bisa kita mempunyai tugas yang lebih ringan. Karena kita akhirnya masuk pada wilayah-wilayah yang menjadi tujuan umum dari kemerdekaan itu adalah untuk mencapai kemasalahan bangsa," kata Prof Nasaruddin.
Sebagai kompromi politik, maka Kementerian Agama hadir pada waktu itu untuk menjembatani pelaksanaan psikologis yang berbeda satu sama lain. Sehingga, kelompok nasionalis dan kelompok Islamis bisa menjadi satu.
"Kemudian juga antara umat Islam sebagai mayoritas dan non-Muslim minoritas itu pun juga bisa menjadi satu dengan kehadiran Kementerian Agama pada saat ini," jelas Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta ini.