REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka menyesalkan proses pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis dini hari, yang dinilai tidak mematuhi asas demokrasi.
"Dari tata tertibnya saja sangat bermasalah. Jangan dikira keputusan mengenai kursi pimpinan DPR itu hanya tentang persoalan siapa yang berkuasa di pimpinan DPR," kata Rieke saat ditemui di depan Ruang Rapat Paripurna I DPR di Jakarta, Kamis (2/10).
Menurut Rieke, pihaknya sepertinya tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dalam proses rapat paripurna pemilihan pimpinan DPR itu. "Kami bukan orang yang baru satu dua hari di politik. Kami memang kebanyakan masih anak muda, tetapi kami mengerti bahwa paripurna itu adalah putusan tertinggi. Memang boleh ada lobi tetapi keputusan tetap di paripurna. Dicatat ini konstitusional, di sidang paripurna setiap anggota berhak untuk bicara," ujar dia.
Rieke mengaku dalam rapat paripurna pemilihan pimpinan DPR periode 2014-2019 pada Kamis dini hari itu, pengeras suara di mejanya rusak sehingga ia tidak bisa menyampaikan pendapatnya dalam rapat tersebut. "Bagaimana mau bicara kalau pengeras suaranya saja dimatikan? Sekjen bertemu dengan saya di toilet, dia bilang alatnya rusak. Bayangkan ini pemilihan pimpinan DPR. Memilih pimpinan RT saja harus serius," katanya.
Namun, Rieke tetap yakin bahwa masyarakat Indonesia sudah dewasa dan cerdas sehingga dapat mengerti pimpinan DPR seperti apa yang seharusnya ada untuk Indonesia yang lebih baik.
Sebelumnya, partai-partai Koalisi Merah Putih (KMP), yakni Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan PPP secara kompak mengusung politikus Partai Golkar Setya Novanto untuk menjabat Ketua DPR RI periode 2014-2019, dengan empat Wakil Ketua DPR yakni Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN), dan Fahr
Sementara PDIP, PKB, Hanura, dan Nasdem "walk out" dari ruang sidang paripurna karena merasa pimpinan sidang, yakni politikus Golkar Popong Otje Djunjunan tidak demokratis, karena tidak mempersilakan anggota untuk berbicara.