REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Rapat Paripurna Ke-2 DPR RI, Masa Persidangan I Tahun Sidang 2014-2015, banyak menggunakan kosakata dan istilah bahasa Sunda dalam proses sidang yang berlangsung. Ketua sidang Rapat Paripurna DPR RI, Popong Otje Djundjunan (76 tahun), menyatakan bahasa Sunda ia gunakan untuk menunjukkan diri sebagai orang Sunda.
"Orang yang mengkritik biarkan saja, yang penting, untuk menunjukkan saya orang Sunda. Bahwa saya manusia, bukan monyet," tutur Popong saat diwawancarai para wartawan, Kamis (2/10) di Gedung DPR RI.
Menurut Popong, penggunaan bahasa daerah dalam sidang DPR RI tidak masalah, asalkan sambil 'guyon' (bercanda). Ia mengaku hatinya tidak terganggu dengan teriakan dan sindiran anggota dewan kepadanya saat sidang berlangsung.
"Saya sama sekali tidak terganggu, 'heunteu' (tidak), lihat saja cara saya ngomong, apa saya terganggu? Tidak kan? 'Tah, kitu' (ya, begitu)," ujar anggota DPR RI tertua dari Fraksi Partai Golkar itu.
Popong pun mengaku baru pertamna kali memimpin. Sidang DPR RI. Tetapi, ia menjadi tukang (sering) pimpin rapat dimana-mana. "Karena hobi saya berorganisasi, apa bedanya sidang sama rapat? 'Sarua' (sama saja), 'teu' (tidak) masalah," ungkapnya.
Menurutnya, sidang paripurna yang ia pimpin sangat hidup. Kalau sidangnya 'jempling' (tenang) aja, tidak lucu. Jadi, itu menggambarkan demokrasi di negara Indonesia sudah berjalan baik. Ceu Popong pun berpendapat aksi walkout sejumlah parpol dari sidang paripurna merupakan sepenuhnya hak mereka.
Jadi, pimpinan sidang tidak boleh menghalanginya, tidak apa-apa. Ceu Popong pun menganggap teriakan dan interupsi kepada dirinya sebagai hal yang lumrah. "Kalau kita terjun ke dunia politik, harus siap mental. Harus 'all out'. 'Ari (Kalau) 'teu' (tidak) siap mental, jangan masuk ke dunia politik 'atuh' (dong). Nah, ini pelajaran unuk kalian," jelas Ceu Popong.
Ceu Popong pun mengaku tidak capek dan tidak letih memimpin sidang, meskipun harus bangun dari jam 04.00 WIB, Rabu (1/10) dini hari. Ceu Popong berpendapat para anggota dewan yang menganggap dirinya otoriter dan tidak demokratis sebagai hak mereka. "Kalau yang menganggap seperti itu, biarkan saja, hak mereka itu," jelas Ceu Popong.