REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Robby Arya Brata menilai, langkah pencegahan korupsi lebih efektif ketimbang penindakan. Namun, selama ini KPK lebih banyak melakukan penindakan.
"Dengan pencegahan kita bisa menganalisis di sistem lembaga itu, kita pelajari kelemahannya dan saling menguatkan," kata Robby di Jakarta Pusat, Selasa (7/10).
Robby mengumpamakan aksi penindakan seperti mengepel lantai kotor tapi tidak menutup lubang di genteng. Penindakan itu konseling tapi tidak menyelesaikan masalah.
Menurutnya, anggaran KPK untuk menindak satu kasus mencapai puluhan juta. Sedangkan uang kerugian negara yang berhasil dikembalikan di bawah 30 persen.
Menurutnya, KPK membutuhkan orang yang menguasai konsep pencegahan korupsi dan konsep antikorupsi. Dia juga menilai kebanyakan pejabat KPK berlatar belakang pendidikan ilmu hukum. Padahal, mayoritas pakar antikorupsi di dunia bukan ahli hukum.
"Kalau saya jadi pimpinan KPK lebih senang kalau tidak ada yang ditangkap, karena dia punya anak istri. Dia akan dikenang anak cucunya sebagai koruptor," ujarnya.
Nantinya, dia bakal berusaha agar tidak ada lagi menteri atau anggota DPR yang menangis karena terlibat korupsi. Dia ingin menguatkan DPR dan MK agar punya integritas sehingga semua pejabat negara tidak akan terlibat korupsi.
Karena itu, menurutnya, pimpinan KPK ke depan harus tidak biasa. Para pimpinan KPK harus bersifat visioner, kuat, berintegritas, dan punya langkah terobosan yang tidak biasa.
Selain itu, sistem politik yang ada harus kondusif untuk mendukung pemberantasan korupsi.