REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Untuk kesekian kali, minuman keras (miras) oplosan mengakibatkan nyawa melayang sia-sia. Meski tak sedikit korban telah berjatuhan, para penikmatnya pun tak sedikitpun jera.
Aparat Kepolisian pun mengakui sulit membendung peredaran miras produk industri rumahan ini. Kalaupun upaya pencegahan dilakukan, hasilnya pun tak lagi bisa maksimal.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Aloisius Liliek Darmanto mengatakan, tak ada jurus jitu untuk menghentikan jenis miras yang satu ini.
Masyarakat (red; pengonsumsi) lah yang bisa mencegahnya. Karena mereka sendiri sebenarnya juga tahu kalau miras ini tak memiliki kelayakan untuk dikonsumsi.
“Namun, meski mereka tahu oplosan sudah merenggut banyak nyawa, kok masih saja digemari. Sudah begitu, dicampur-campur lagi,” tegas Kabid Humas, di Semarang, Kamis (9/10).
Ia juga menjelaskan, miras jenis bir atau miras yang telah mengantongi izin Departemen Kesehatan RI saja, tidak direkomendasikan untuk dicampur dengan unsur lain, apalagi obat nyamuk.
Yang terjadi sekarang ini, masyarakat mudah mencampur miras dengan bahan-bahan lainnya. Celakanya meski campuran itu mengandung racun, para penikmat ini tetap sengaja mengonsumsi.
Menurut Liliek, upaya pencegahan sudah dilakukan aparat kepolisian, baik melalui penyuluhan maupun tindakan di lapangan berupa razia. Namun penyedia miras ini tetap tak jera, begitu pula penikmatnya.
Sekali lagi, tandasnya, polisi bekerja atas dasar hukum dan undang-undang. Apa yang diatur oleh hukum, itulah yang dilakukan aparat kepolisian.
Di lingkungan masyarakat, juga tak kurang-kurang diimbau untuk menjauhi miras. Karena agama manapun tetap melarang dan tidak membenarkan mengonsumsi miras.
Mulai dari ulama, pendeta dan pemuka agama manapun sudah seringkali mengimbau agar tidak mengonsumsi miras.
“Jadi, mengapa miras oplosan masih saja merenggut korban jiwa, sebenarnya tergantung masyarakat sendiri,” tegas Liliek.