Selasa 21 Oct 2014 17:43 WIB

Bangun Permukiman Harus Perhatikan Ancaman Bencana

Rep: Heri Purwata/ Red: Yudha Manggala P Putra
Permukiman penduduk dan pembangunan gedung terlihat dari kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (24/4) .
Foto: Republika/Prayogi
Permukiman penduduk dan pembangunan gedung terlihat dari kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (24/4) .

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Pembangunan permukiman di dalam negeri hendaknya ‘melek’ bencana agar dapat meminimalisir resiko akibat peristiwa alam. Apalagi mengingat wilayah Indonesia  berada dalam ring of fire bencana.

Hal itu diungkapkan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII),  Widodo Brontowiyono, pada International Conference on Sustaibable Built Environment (ICSBE) 2014 di Yogyakarta, Selasa (21/10). Konferensi yang dimaksudkan memperingati HUT ke-50 FTSP ini diikuti peserta dari Amerika Serikat, Turki, Thailand dan Indonesia.

Dijelaskan Widodo, untuk mengantisipasi hal ini diperlukan kerja sama semua pihak dari pemerintah, masyarakat dan juga perguruan tinggi. “Karena problem permukiman itu pertama adalah selalu adanya ancaman bencana. Yang kedua, disaster approach atau pendekataan kebencaan masih merupakan barang baru. Sehingga masih banyak yang kurang care,” jelas Widodo.

Menurut Widodo, kurangnya perhatian dan pemahaman akan kebencanaan yang membuat persoalan kebencanaan seringkali dianggap bukan sebuah bencana. Dicontohkan soal kekeringan, menurutnya seringkali hal itu dilihat serta diatasi bukan sebagai sebuah bencana yang perlu penanganan serius, terencana dan berkelanjutan. Ini karena kekeringan bukanlah bencana sebagaimana gempa bumi, gunung meletus, tsunami dan lainnya yang terus memunculkan korban.

“Sebagai bencana, kekeringan diibaratkan membunuh pelan-pelan. Dan sesungguhnya, solusi mengatasi banjir adalah solusi untuk kekeringan. Namun acapkali hal ini tidak terkoordinasi. Sehingga disinilah peran perguruan tinggi sebagai lembaga riset, dan juga untuk melakukan jejaring dalam mengatasi masalah tersebut,” kata Widodo.

Dikatakan Widodo, pemetaan daerah bencana secara makro sudah dilakukan pemerintah. Tetapi detail dan sosialiasi optimal belum dilakukan. Padahal secara teori, bagaimana masyarakat mengerti akan bencana, jenis dan risiko yang dihadapi adalah penting bagi masyarakat. “Pendidikan perlu ada kaitan-kaitan aspek disaster  tanpa harus menjadi kurikulum tersendiri," kata Widodo.

Konsep living harmony with disaster sesungguhnya merupakan  bentuk toleransi pemerintah terhadap masyarakat tinggal di daerah denan risiko tinggi bencana. Konsep tersebut ditoleransi pemerintah karena kekurangmampuannya mengelola masyarakat yang tinggal bahkan mungkin mendapatkan penghasilan di daerah berisiko bencana tinggi. Sehingga seperti di zona 3 kawasan Merapi yang menurut pemerintah tidak boleh dihuni tapi tetap saja masyarakat berada di sana.

“Yang dikhawatirkan lama kelamaan masyarakat lupa dan tidak care lagi dengan kemungkinan bencana yang terjadi. Sehingga jika terjadi, korbannya menjadi banyak,” tambahnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement