REPUBLIKA.CO.ID, Usia laki-laki ini sudah tidak muda lagi. Kerut di wajahnya semakin banyak dari hari ke hari. Matanya pun sudah tak mampu melihat benda yang jauh maupun dekat. Ada noda putih di bola matanya yang hitam.
Edi Supriyadi, itulah nama yang diberikan orangtua laki-laki baya ini. Kini usianya menginjak 73 tahun. Usia yang seharusnya dipakai untuk beristirahat menikmati hari tua bersama keluarga. Banyak orang yang beranggapan, semakin tua usia maka tubuh pun semakin tak kuat. Namun tidak bagi laki-laki yang berasal dari Garut ini.
Mamang Edi—nama panggilannya—terus bekerja sampai hari ini. Pekerjaannya sangat menguras tenaga. Apalagi mengingat usianya sudah sangat baya itu. Mang Edi harus berjalan hingga puluhan kilometer demi menjajakan dagangannya. Ia harus menjual somay demi menyambung hidup. Laki-laki yang tubuhnya sudah rapuh ini harus memikul dagangannya seberat puluhan kilogram itu sepanjang hari.
“Mamang mah berangkat dagang dari jam enam pagi,” kata laki-laki yang menggunakan topi hitam ini.
Jika dagangannya laris, sekitar pukul tiga sore ia sudah kembali ke kontrakannya. Namun, jika pembelinya sepi ia harus menjual somay hingga maghrib. Mang Edi sebenarnya ingin memiliki rumah di tempat perantauannya ini, Tangerang Selatan. Namun karena ketidakadaan biaya membuatnya urung untuk membeli atau membangun rumah.
Laki-laki yang memiliki enam anak ini tinggal di sebuah kontrakan kecil. Biaya yang dikeluarkannya untuk membiayai kontrakan sekitar Rp 500 ribu per bulan. Biaya yang cukup mahal baginya. Mang Edi menceritakan, dia hanya memperoleh untung Rp 150 ribu dari dagangannya. Sedangkan modal yang dikeluarkan untuk membuat somay sekitar Rp 200 ribu.
Uang yang Mang Edi peroleh setiap hari ini, harus bisa ia bagi-bagi dengan kebutuhannya yang cukup banyak. Dari biaya kontrakan, modal membuat somay, uang makan dalam sehari. Selain itu, ia juga harus mengirim uang untuk keluarganya yang berada di kampung halaman.