REPUBLIKA.CO.ID, Perasaan lelah sudah pasti ada. Rindu keluarga yang berada di kampung halaman sering mendatanginya. Namun, pekerjaan memang tak bisa dihindari. Mang Edi teringat kisahnya saat berdagang kompor di Medan, Sumatera Utara. Saat itu, ia harus menempuh jalan yang cukup panjang.
“Sekitar 150 Kilometer, neng!” kata mang Edi kepada Republika.
Tempat yang dijadikan wilayah berdagangnya Mang Edi itu kebanyakan dikelilingi hutan. Jarak antar satu kampung dengan kampung lain sangat jauh. Ini membuat Mang Edi terpaksa tidur di gubuk sekitar hutan apabila kemalaman.
Lima belas hari adalah waktu yang biasa Mang Edi capai untuk menghabiskan dagangannya. Apabila ia mampu menjual habis dagangannya, maka ia harus siap dipindahkan ke daerah lain. Mang Edi selalu berpikir untuk tidak menyerah. Kalau ditanya, apakah ia lelah atau tidak. Maka tanpa diragukan lagi, ia akan menjawab ‘ya, saya lelah’.
Mang Edi juga sering merasa tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Namun, jika ia mengingat keluarganya, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk melupakan ketidakkuatan tubuhnya itu. “Semuanya saya lakukan, karena terdesak ekonomi,” ujar Mang Edi dengan logat Sunda yang kental.
Hidup harus terus dilanjutkan, apalagi ia dan keluarga masih diberi umur panjang oleh Sang Illahi. Mang Edi bersedia bekerja apa saja selagi itu halal. “Yang penting saya tidak nyolong,” ucap laki-laki yang berasal dari Garut ini.
Di antara saudara-saudara Mang Edi lainnya, ia merasa dirinya lah yang terlihat paling sulit kehidupannya. Kebanyakan saudara dari laki-laki penjual somay ini adalah orang-orang yang sudah sukses. Ia merasa memang inilah takdir yang telah Allah SWT berikan kepadanya.
Mang Edi selalu bersyukur atas apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Meski sulit dan lelah, semuanya akan terus ia lakukan sekuat tenaga. “Selagi nafas masih berhembus, saya kan terus bekerja” kata dia.
Pengalaman yang tidak mengenakkan sering ia rasakan selama berdagang somay hingga kini. Mang Edi menjelaskan, beberapa pembeli selalu berkomentar bahwa somay yang ia perjualkan agak mahal harganya.
Menghadapi masalah seperti itu, ia tak pernah marah atas komentar pedas para pembeli. Mang Edi selalu memakluminya. Harga somay yang ia perjualbelikan seharga dua ribu rupiah untuk tiga potong somay. Mang Edi mengaku, harga yang ia naikkan berdasarkan permintaan pembeli yang memahami modal yang ia gunakan.
“Ada beberapa pembeli yang paham penderitaan saya,” seloroh Mang Edi. Di usianya yang hampir tiga per empat abad ini, Mang Edi selalu berharap perhatian dari pemerintah. Apalagi, mengingat ia pernah menjadi salah satu tentara Pasukan Siliwangi.
“Saya mah tidak mengharapkan muluk-muluk,” ujar Mang Edi. Ia berharap pemerintah memperhatikan para pedagang keliling yang berada di seluruh Indonesia. Karena bagaimana pun juga, Mang Edi dan para pedagang keliling lainnya itu masih rakyat Indonesia.
Tentu menjadi ironis di negeri yang telah diperjuangkan oleh para pejuang ini. Apalagi setiap tahun kerap diperingati Hari Pahlawan tiap 10 November. Akan tetapi nasib para pejuangnya tidak diperhatikan oleh negara.