REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dinilai menginginkan Presiden Jokowi tidak diawasi DPR. Dosen Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, A Ubaidillah, menyatakan hal ini ditempuh dengan menghapus hak menyatakan pendapat yang ada dalam UU MD3.
“Ini sudah merefleksikan keinginan Jokowi tidak diawasi, seperti era orde baru,” imbuh Ubaidillah, saat dihubungi, Kamis (13/11).
Hal ini dinilainya merupakan kemunduran dalam demokrasi di Indonesia. Hak menyatakan pendapat menurutnya sangat diperlukan, karena hak tersebut melekat dalam fungsi DPR untuk mengawasi pemerintahan.
Kalau presiden berkhianat, korupsi, atau melakukan lima hal yang menjadi syarat untuk dimakzulkan, maka hak menyatakan pendapat ini harus digulirkan. “Ya ini harus dilakukan, tapi tentunya melalui proses politik yang panjang. Tidak mudah,” imbuhnya.
Menurutnya, tidak perlu KIH menggulirkan isu penghapusan hak menyatakan pendapat. Sebabnya, mereka sendiri sebelumnya sudah menyetujui hak ini dalam UU MD3.
Ubaidillah menilai, isu ini sangat merugikan parpol pendukung Jokowi. Mereka, jelas Ubaidillah, seharusnya membuat terobosan yang positif bagi publik, bukan dengan mengeluarkan gagasan yang tidak bermanfaat bagi demokrasi.
KIH dalam kesepakatannya dengan KMP mengajukan revisi Undang-Undang MD3 Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. KIH tidak hanya ingin mengubah komposisi alat kelengkapan Dewan, tetapi juga ingin menghapus hak menyatakan pendapat (HMP).
"Ini rahasia negara, tapi intinya yang berkaitan dengan hak menyatakan pendapat dan sebagainya," kata politisi PDI Perjuangan, Pramono Anung
Pada bagian kelima UU MD3 tentang Hak DPR, terdapat tiga hak yang dimiliki DPR, yakni hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Pasal 79 ayat 4 menyebutkan bahwa hak menyatakan pendapat adalah untuk menyatakan pendapat terkait dengan kebijakan pemerintah atau tentang kejadian luar biasa yang terjadi di Tanah Air atau di dunia internasional, dan tindak lanjut pelaksana hak interpelasi, dan hak angket.
Pasal 215 menyebutkan, apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR tentang pelanggaran presiden atau wapres terbukti, DPR bisa menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan atau wapres ke MPR.