REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Palembang juga diduga melibatkan hakim lainnya. Hal ini terungkap dari kesaksian Kamarussalam alias Polo saat memberikan kesaksian dalam persidangan yang digelar Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (27/11).
Bekas kuasa hukum Romi Herton itu mengatakan, Muhtar Ependy (ME) pernah menyebut adanya uang yang diperuntukkan bagi hakim-hakim konstitusi selain Akil. "Dia (ME) bilang, Sintua (Akil Mochtar) menitipkan sebanyak uang Rp 15 miliar. Saya tanya itu untuk apa? Kata dia untuk Akil Rp 6 miliar, sisanya yang Rp 9 miliar lagi untuk hakim-hakim lainnya," kata Polo.
Muhtar Ependy adalah Direktur PT Promic Internasional yang kini berstatus sebagai terdakwa dalam kasus suap Akil. Muhtar diduga kuat berperan sebagai makelar kasus (markus) dalam berbagai sengketa pilkada yang ditangani Akil di MK.
Menurut Polo, cerita tentang adanya uang untuk hakim konstitusi selain Akil tersebut diungkapkan ME saat keduanya bertemu di Pontianak, sekitar sepekan atau sebulan sebelum ME ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juli lalu. Namun demikian, Polo mengaku tidak mengetahui siapa saja hakim lain penerima uang haram yang dimaksud ME itu.
"Saya tidak tahu kebenaran cerita (ME) itu. Karena, ketika saya tanya Muhtar siapa saja nama-namanya, dia langsung mengalihkan pembicaraan ke yang lain. Dia hanya cerita uang itu sebagian digunakan untuk membeli rumah di Cempaka Putih (Jakarta) dan cerita soal ikan arwana," kata Polo.
Jaksa Penuntut Umum dari KPK, Pulung Rinandoro, menuturkan pihaknya akan mengonfirmasi kesaksian Polo tersebut. Sampai sejauh ini, kata Pulung, belum ada temuan dan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) perihal dugaan suap ke hakim konstitusi selain Akil.
Sebelumnya, Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton dan istrinya, Masyito, menjadi terdakwa dalam kasus suap terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar sebesar Rp 14 miliar dan 316 ribu dolar AS. Romi dan Masyito diseret ke meja hijau dengan dakwaan berusaha memengaruhi keputusan hakim konstitusi dalam penyelesaian sengketa Pilkada Palembang 2013 yang tengah ditangani MK.
Ketika itu, Akil menjabat sebagai ketua panel. Sementara itu, anggota panel lainnya adalah hakim konstitusi Maria Farida Indrati dan Anwar Usman.