REPUBLIKA.CO.ID, GAMBIR - Usulan yang dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengurangi jam kerja pegawai perempuan selama dua jam menuai pro dan kontra. Di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta contohnya, tidak semua Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan setuju dengan usulan tersebut.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Koja, Siti Mulyati, ia mengaku secara profesional kurang setuju dengan pengurangan jam kerja. Karena, kata dia, akan ada pembedaan perlakuan kepada kaum perempuan. "Seharusnya tidak usah ada perlakuan istimewa, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama," ujar Siti kepada Republika, Jumat (5/12).
Menurut perempuan berusia 53 tahun itu, pemotongan jam kerja justru akan menimbulkan kecemburuan sosial. "Nanti para pegawai laki-laki banyak yang tidak terima," ucapnya. Namun, lanjut ibu dua orang anak itu, ia juga tidak menampik usulan wapres itu memberikan keuntungan bagi kaum hawa. Karena, dengan usulan tersebut para ibu dapat mengurus keluarganya terlebih dahulu sebelum bekerja.
Kepala Unit Pengelola (UP) Kawasan Monumen Nasional (Monas), Rini Hariyani mengaku setuju dengan pengurangan jam kerja selama dua jam bagi PNS wanita. Namun, kata dia, kebijakan itu harus dilihat dari usia anak-anak para PNS wanita yang bekerja. Apakah, anak PNS wanita itu masih memerlukan pengawasan atau tidak. "Ya, boleh itu diberlakukan, tapi memang betul-betul yang punya anak-anak dalam usia masa perkembangan. Contohnya, karyawan (PNS) wanita yang masih punya SD, SMP atau SMA," kata ibu dua orang anak itu.
Rini mengatakan, kalau PNS wanita yang anaknya sudah kuliah, sah-sah saja tidak dipotong jam kerjanya. Pasalnya, selain tidak ada kegiatan di rumah karena anak sibuk kuliah, para PNS wanita itu harus mengabdikan tenaganya di kantor. "Jadi jangan dipukul rata, bukan karena saya punya anak SMA. Tapi, yang perlu pendampingan seorang ibu adalah anak yang masih duduk di bangku SD dan SMP," paparnya.