REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin mendesak Jaksa Agung, H.M. Prasetyo segera mengeksekusi 64 terpidana mati kasus narkoba. Sebab Presiden Joko Widodo telah menolak permohonan grasi mereka.
"Dengan ditolaknya grasi oleh presiden, negara melalui Jaksa Agung berkewajiban mengeksekusi," kata Aziz kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (10/12).
Aziz mengatakan tidak ada alasan bagi Jaksa Agung menunda eksekusi mati. Sebab seluruh hambatan hukum sudah berakhir begitu grasi ditolak presiden. "Kunci pelaksanaannya di Jaksa Agung," ujarnya.
Politikus Partai Golkar ini mengaku sempat menerima pengaduan dari aktivis amnesti internasional. Mereka meminta agar eksekusi terhadap 64 terpidana mati bisa dibatalkan. Alasannya, Indonesia telah meratifikasi konvensi ICCPR tentang hak-hak sipil dan politik internasional.
"Mereka ingin mencegah," ucapnya.
Namun Aziz mengaku tidak bisa memenuhi permintaan aktivis amnesti internasional. Sebab hukum di Indonesia masih membolehkan hukuman mati untuk kejahatan luar biasa seperti narkoba, terorisme, dan korupsi. Dan lagi, imbuh Aziz Indonesia tidak meratifikasi seluruh klausul dalam ICCPR yang salah satunya tentang penolakan terhadap hukuman mati.
"Di hukum nasional kita itu (eksekusi mati) tidak melanggar HAM," ujarnya.
Aziz enggan berkomentar soal dampak eksekusi mati terhadap hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara asal para terpidana. Menurutnya persoalan itu menjadi urusan Kementerian Luar Negeri.
"Warga negara manapun yang melakukan kejahatan di Indonesia yang berlaku hukum nasional," katanya.
Sebelumnya, dalam kuliah umum yang digelar di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Selasa (9/12) Jokowi memastikan bakal menolak permohonan grasi yang diajukan 64 terpidana mati kasus narkoba. Jokowi mengatakan kejahatan narkoba telah menjadi persoalan serius Bangsa Indonesia.