REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang perdana kasus korupsi pengadaan simulator uji klinik pengemudi roda dua (R2) dan roda empat (R4) di Kepolisian RI (Polri) 2011 dengan terdakwa Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo, digelar di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (11/12). Agenda sidang adalah pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Didik didakwa telah menyalahgunakan wewenangnya selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek tersebut. Selain itu, jenderal polisi bintang satu itu juga dituduh memperoleh keuntungan pribadi secara ilegal sebesar Rp 50 juta, serta memperkaya orang lain atau korporasi dalam kasus ini.
Dalam surat dakwaan JPU disebutkan, mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, Irjenpol Djoko Susilo, awalnya memerintahkan anggota tim pengadaan Ni Nyoman Suartini yang dibantu oleh Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Sastronegoro Bambang, untuk menyusun kebutuhan simulator. Djoko sendiri memiliki posisi sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) dalam proyek tersebut.
Selanjutnya, Sukotjo atas perintah Budi Susanto (Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi/PT CMMA) melakukan perhitungan pengadaan simulator yang akhirnya disetujui oleh Djoko dalam bentuk Rencana Kegiatan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL).
Dalam menyiapkan modal untuk pengadaan simulator tersebut, Budi Susanto lantas mengajukan Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp 101 miliar ke Bank BNI dengan menjaminkan surat perintah kerja (SPK) pengadaan simulator R2 dan R4 dan tanggung renteng dengan jaminan atas fasilitas kredit.
"Padahal, saat pengajuan kredit tersebut SPK pengadaan simulator R2 dan R4 belum ada. Akan tetapi, Djoko sudah memberikan rekomendasi kepada Bank BNI atas pengajuan KMK Budi Susanto sebesar Rp101 miliar sebelum ada pengesahan pagu anggaran definitif Korlantas Polri 2011 dan pengumuman pemenang lelang pengadaan simulator," ujar JPU dari KPK, Kemas A Roni, saat membacakan dakwaan di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (11/12).
Setelah proses seleksi, kata Kemas, Ketua Panitia Pengadaan Teddy Rusmawan lalu mengusulkan kepada Didik untuk menjadikan PT CMMA sebagai pemenang lelang, dan terdakwa pun menyetujuinya. Selanjutnya, Ni Nyoman Suartini meminta kepada Sukotjo agar memberikan 'uang terima kasih' kepada Didik.
Kepada Sukotjo, Ni Nyoman Suartini mengatakan, 'kalau enggak kaliber 50 (Rp 50 juta) atau Rp 100 (100 juta).' Beberapa hari sesudah itu, Sukotjo pun mengunjungi Kantor Korlantas dengan membawa uang dibungkus dalam kotak kue brownies. Pada saat itu, Sukotjo berkata '(kotak kue) ini itu untuk Pak Waka (Didik). Oleh-oleh dari Bandung.'
Kesalahan Didik lainnya, kata JP Kemas, mantan petinggi Mabes Polri itu juga menandatangani berita acara pemeriksaan dan penyerahan simulator. Padahal, barang-barang itu sebenarnya tidak pernah diperiksa sama sekali. "Tak hanya itu, spesifikasi barang-barang yang didatangkan pun tidak sesuai dengan klausul kontrak, dan banyak simulator ternyata belum dirakit," tutur Kemas.
Akibat perbuatan terdakwa, kata JPU lagi, negara mengalami kerugian hingga mencapai Rp 144,98 milar. Dengan demikian, Didik pun didakwa dengan dakwaan primer dan subsider.
Untuk dakwaan primer, terdakwa dijerat pasal 2 ayat (1) juncto pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto KUHP pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sementara, untuk dakwaan subsider, Didik dijerat dengan pasal 3 juncto pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan ataas UU No 31 tahun 1999 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP.