REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengeluarkan catatan akhir tahun yang akan menyoroti akuntabilitas negara terkait HAM. Kontras memiliki tiga indikator utama untuk melihat proyeksi agenda penyelesaian kasus HAM dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Menurut Kordinator Kontras Haris Azhar, ada tiga indikator utama yang disorotinya, yaitu pertanggungjawaban negara, kemampuan negara untuk menjawab tantangan terkait HAM, serta kapasitas negara dalam menegakkan agenda kebijakan, hukum, dan instrumen HAM.
"Ketiga indikator ini memiliki ukuran yang universal untuk menaksir komitmen negara untuk memajukan, melindungi, dan memenuhi prinsi-prinsip HAM di tengah masyarakat," katanya pada acara diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (14/12).
Dari segi pertanggungjawaban negara tekait HAM, Haris menilai Jokowi harus memperbaiki beberapa hal, seperti jaminan kebebasan sipil dan politik, populisme pasar dan jaminan keadilan sosial, serta penuntasan pelanggaran HAM berat.
"Yang terlihat saat ini adalah penegakan model gerak cepat dan populisme saja," katanya.
Ia mencontohkan kasus menenggelaman kapal di yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, menurutnya itu model penegakan gerak cepat. Karena menurut haris, penyesaian model seperti itu tidak sesuai dengan mekanisme peradilan sengketa laut.
Tapi, Haris mengatakan meski telah diberikan kritikan sepeti itu, argument kontras ini dengan mudah dibantah dengan pernyataan jika semua proses hukum telah melalui proses hukum.
"Bahkan dikatakan kalau proses hukum berjalan baik," ujarnya.
Indikator selanjutnya, terkait kemampuan negara untuk menjawab tantangan HAM, Haris menilai banyak aspek yang harus diperbaiki. Seperti, ketiadaan harmoniasasi peraturan perundangan yang potensial melakukan intervensi terkait keyakinan dan agama pilihan tiap individu.
"Pelanggengan konsep penodaan agama, masih menjadi ancaman untuk keberlangsungan kebebasa beragama di Indonesia," katanya.
Selain itu, pernyataan kontroversial yang di keluarkan Predien Jokowi untuk tetap melaksanakan agenda eksekusi terhadap 20 terpidana hukuman mati di tahun 2015.
"Padahal, dia lupa, ada kasus yang berpotensi hanya merupakan rekayasa hukum saja," jelasnya.
Indicator terakhir yang bisa melihat proyeksi pemerintahan jokowi ini adalah terkait kapasitas Negara dalam menegakan agenda kebijakan hokum dan HAM.
"Kami belum mendengar satu rencana harmonisasi soal HAM. Terkait prolegnas, saat ini juga tidak ada. Padahal prolegnas harusnya disusun sbeleum tiga bulan," katanya.
Haris menilai, hal tersebut menjadi indikasi buruk bahwa negara bertindak tanpa dasar hukum. "Jika seperti itu, artinya negara gagal menjawab problem pembelaan HAM," ungkapnya.